Opini
Budaya Saingan
Sepulang dari Kota, sebelum menuju
desanya, Man Talkiban mampir dulu. Perlu untuk "siteng", perutnya
memang sudah keroncongan. Lumayan, berbagi rejeki kepada tim-nya.
Tim-nya memang sangat loyal kepada
dirinya. Apalah artinya seorang diri Man Talkiban, tanpa para ponggawanya.
Dalam perjalanan, ia berpikir
panjang dan merenung. Semuanya masjid saban desa yang dilewati olehnya.
Bangunannya sebagian besar megah dan indah. Tak ada satupun yang bobrok.
Beda, dengan bangunan musholla di
supermarket yang reot, berbanding terbalik dengan supermarketnya yang mewah.
"Ohhh ...
Masjid tiap desa terlihat seakan bersaing. Menunjukan desa mana yang bangunan
masjidnya paling megah. Begitupun, dengan supermarket, bersaing supermarket
siapa yang paling megah".
Dalam renungannya, kalo supermarket
juga bersaing soal fasilitas musholla. Pastinya, nggak ada musholla supermarket
yang mirip kandang wedus itu. Ini salah tempat bersaing, apa salah gengsi?
Bagi masyarakat desa, bangunan
masjid itu representatif gengsi bagi warganya. Tapi, bangunan musholla di
supermarket bukan representatif gengsi pemiliknya. Kok gengsi bisa berbeda-beda
ya, tergantung tempat dan orangnya.
Hasil renungannya itu, Man Talkiban
bergeleng kepala. Oh ... budaya saing yang keliru ternyata. Kita masih bangga
disebut orang nomer satu, kita merasa hebat ketika menang bersaing dan
berkompetisi.
Meski kita menang dari hasil culas
dan haram. Yang jelas, kalah itu pecundang. Siapa coba yang mau disebut
pecundang? Hahhahaha, ada-ada saja ya! Padahal menang dengan cara culas, juga
pecundang.
Pantes saja, ketika kalah dalam
bertanding. Para calon yang berkompetisi dalam pilpres, pilkada, dan pilkadut
juga tidak bisa mengakui kekalahan. Sebab, mereka tidak mau disebut pecundang
ya! Ampuuuuun tobaaaaaaaaat. Hahhahaha.
Budaya saing itu bagus dalam sebuah kompetisi.
Tapi, jika kalah aib, dan borok itu harus ditutupi. Man Talkiban pun menyeruput
tebruknya lama. Tebruk yang manis kok berubah menjadi pahit rasanya.
Ampuuuun! Man Talkiban jadi ingat,
pendidikan di negerinya sangat kompetitif. Banyak orangtua yang narsis memajang
prestasi anak-anaknya di medsos. "Anakku rangking satu loh",
sambil jingkrak-jingkrak.
Tanpa disadari sebagian dari mereka
nanti akan tumbuh menjadi orang-orang yang terlalu suka berkompetisi dan lupa
bekerjasama. Kiri kanannya dianggap saingan dan dirinya harus menjadi yang
terbaik. Menjadi yang nomer satu.
"Pantes pada
mabok pengen dadi seri kabeh"
Mending kalo dia mengembangkan
dirinya supaya menang persaingan. Kadang yang ada, hanya menunjukkan betapa
hebat dirinya dengan cara mengungkapkan kejelekan saingannya. Hahahhaaha. Mabok
pujian.
"Nggak level,
sorry layau"
Waduuuuuuuuuuuh, betapa arogannya?
Seakan-akan yang lain tidak mampu dan hanya dia yang mampu. Sakit mentalnya.
Tebruk Man Talkiban tinggal sedikit.
Satu seruputan lagi juga habis. Iya tak lupa menikmatinya dengan sempurna.
Serupuuuuuuutannya sengaja lebih lama. Slruuuuuuuppp ... slruuup.
Kesadarannya datang, "Ahhhhhhhhh
ngapain protes mulu". Man Talkiban pun pasang logika, "Sudahlah,
biarkanlah. Jor ... joooooooor bae".
Nanti dibilang kaum protestan lagi.
Protestan, protes bae kaya setan.
***
Meneer Panqi
Penulis, pemerhati budaya dan
konsultan media kreatif.
Via
Opini
Posting Komentar