cerpen
[Cerpen] Akhirnya Kawin Juga
![]() |
Kolase Photo Wedding. Credit by Septian, 2016. |
Tiba-tiba saja
semua teman sepermainan dan seangkatan udah pada kawin semua. Bahkan ada yang
udah punya anak 3 dan akan menginjak ke SMP. Aku hampir nggak menyadari itu,
aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri.
Aku selalu merasa
muda terus, disibukkan dengan kegiatan usaha, ngajar, maupun organisasi. Di
sanalah tempat semua aktivis terlena dengan dunianya. Dunia yang menjanjikan
eksistensi diri. Dielu-elukan sebagai orang hebat, orang peduli, dan
gelar-gelar lainnya.
Padahal, segala
yang berlebih-lebihan itu tidak Allah sukai. Aku seperti ditampar, tatkala
orangtuaku cukup khawatir dengan status jombloku. Bapakku, sekali pernah
menyidangku habis-habisan. Beliau marah besar karena cewek yang datang
berkunjung ke rumahku selalu berganti-ganti.
“Nang, lanang sejati ora mengkonon tindak-tanduke,
lanang sejati cukup siji, kudu ana sing diberati, aja gonta-ganti. Pilih siji
terus dadiaken rabi”.
Atau juga bahasa
curhatan ibuku yang sengaja menyindir. Waktu itu aku dan ibu sedang glampang-glimpung di amben.
“Bature sema kah, si kaen wis duwe mantu, si kaen wis
duwe putu, si kien wis ngemban putu”.
Hatiku
tercabik-cabik, ketuwon bin ngenes.
Ya, sedihnya sih waktu itu statusku baru saja putus. Jalinan cintaku baru saja
aku kandaskan. Aku bukan tipe pengiba yang mengemis-ngemis cinta pada
seseorang.
Cinta tanpa
kepastian, tanpa visi yang jelas kedepannya, mau dibawa kemana hubungannya?
Atau tidak mencapai titik temu dalam perang prinsip, tidak menghasilkan
kompromi-kompromi itu buang-buang waktu saja.
Atau bahasa
sindirian nenek-ku saat teman-temanku datang berkunjung. Lagi asik-asiknya
ngobrol, nenek nyletuk.
“Aduuuuh sampe remucune tua maning, klapane kita tua
maning. Maue mah mbokan kanggo kawinan putu, eee bli sida maning”.
Langsung saja,
terjadi paduan suara tertawa. Teman-temanku puas sekali ketawanya. Aku ikut
ketawa juga sih, meski dalam hati remuk berkeping-keping.
Tega-teganya ya,
teman-temanku. Menertawakan ke-jombloanku. Kurang ajar, mana empati dan simpati
dari kalian. Teman atau musuhku sih?
Temen-temen SD,
MTs, SMA juga sok ikut-ikutan cemas dengan keadaanku. Misalnya, ada yang
menawarkan sepupu perempuannya untuk kujadikan istri.
“Neer, sira kawin lan sepupu reang bae, gelem bli? Kaen
gah jare mah pengen duwe laki?
Aku senyum-senyum
aja mendengar tawarannya. Tapi untuk menjaga nawaituku, aku iyakan saja.
Utamanya, adalah perang batin antara logika dan aqidahku.
“Kenalaken bae, bismillah. Mader niate luruh batur
ngibadah, nangapa palah pilih. Mbokmenawa kuen jodoe reang”.
Lalu, setelah
perkenalan. Ini itu, basa-basi, pertemuan. Akhirnya kuajak menikah. Aku sudah
mengira jawabannya pasti ditolak. Wong, diantara kami nggak ada aksi-reaksi.
Meski ingin menikah, tidak ada getaran diantara kami. Nawaitunya sekedar
mencoba-coba, kali aja cocok. Lalu menikah.
Sederhana saja cara
mainnya. Dia punya selera tinggi. Aku kadung basah, cerita ingin menikah sama
temanku. Temanku juga bisa jadi iba dengan cerita dan tekadku. Ditawarkanlah
sepupunya. Karena ada keterpaksaan diantara kami. Itulah sebab
ketidaksuksesannya. Kadang milih sendiri saja, masih tidak cocok apalagi
dipilihkan.
Juga tawaran dari
teman dunia maya. Ia mendesakku untuk menikahi saudaranya. Ia berargumentasi,
aku dianggap orang benar. Orang yang lurus. Ia ingin saudaranya bisa dibimbing
olehku.
Aduh, efektif juga
ya mencitrakan diri di media sosial sebagai pria baik. Sejatinya, aku adalah
pria bajingan. Aku tertawa kecil dan menolak anggapannya bahwa aku pria baik. Lah wong, aslinya aku begitu bajingan
dan termasuk pria nakal.
”Neer, pengen kawin bli? Kita duwe sedulur, wis duwe
umah, sedelat maning arep balik”.
Begitu tawarannya.
Aku jawab bismillah lagi. Perkenalan, basa-basi. Lalu, ditolak. Totalnya ada
enam orang yang menolak atau tidak siap setelah kutawari menikah. Jadi selama
hampir 2 tahun, atau tepatnya 22 bulan setelah keinginan menikah itu tumbuh di dalam
diri, ada 6 orang yang menolaknya. Prestasi! Hahahhaa.
Ketika impian dan
harapan menikah masih jauh panggang dari api. Tentu, ada saat-saat dimana rapuh
dan merasa luntur semangat. Apalagi bertubi-tubinya ledekan dari teman,
saudara, kawan, dan sahabat. Dibombardir sana-sini. Rapuh dan ingin berontak,
lalu menyalahkan keadaan.
Ada yang meledek,
demen ilmu bukan demen wadon makanya
nggak kawin-kawin. Ada yang bilang terlalu pilih-pilih, bahkan parahnya ada
yang menganggapku gay alias homo. Pecinta sesama jenis. Masyaallah jahat sekali
ya penilaiannya. Seburuk itukah aku dimata mereka.
Ada juga yang
bilang ini karma. Ini balasan dari kebiasaanku yang suka memainkan hati cewek-cewek.
Ampun yaaaaaaaa, parah banget! Ceweknya juga salah sih, cantik-cantik bloon,
mau aja dipacarin untuk waktu yang singkat.
Ia melanjutkan
ledekannya, tidak hanya sampai karma. Katanya pula begini.
“Nembe bae nenem sing bli gelem diajak kawin. Durung
rong lusin ditolake. Lah wong wadon sing kanggo dolanan bae jumlahe luih sing
rong lusin. Sabar, kari sendik, mung wong wolulas maning, hahahhaa”.
Aku diam saja
menjawab ledekannya, sambil senyum terpaksa. Bukan sampai disini
penderitaannya. Selain tadi, aku juga mendapatkan seabrek gelar. Dari presiden
jomblo Indramayu, PL – perjaka lapuk, dan gelar lainnya yang sangat menyinggung
perasaan seorang manusia.
Bentar, aku
inget-inget lagi kata-kata ledekannya. Soalnya ada yang kuanggap angin lalu.
Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Oh iya begini. Nggak banyak sih paling
beberapa.
“Kapan kawin? Engko ya karo anake kita bae”.
“Demenan kaya angsuran motor, telung tahun sabar temen
nunggune. Kuwene saking bli payune tah nunggu sing luar bae”.
“Aja palah-pilih temen, gage kawin. Ibadah paling enak
ya sunnah rosul”.
“Bli sanja maning bae, ya bener engko maning sanjane
lan anake reang”.
“Wis duwe anak pira wa? Aihhhh masih dewekan, hihihihi
maap-maap”.
“Gage buru kiamat, mengko durung rasani nikmate surga
dunia”.
“Sira tah angel, asi pengen kawin, asi bli ngrangsang
ning wadon”.
“Aduuuuh supire kesalip maning bae. Kesalip maning
bae”.
Selain ledekan
nyinyir diatas, ada juga suara-suara yang menyemangati. Tapi, substansinya
sindiran tajam menikung. Kelihatan di permukaan sih mendukung dan siap
mengongkosi biaya pernikahan. Nyatanya aku amat yakin, buktinya sih memble.
Nggak mungkin
mereka bertangan malaikat akan membuktikan omongannya. Ada yang bilang, siap
menanggung biaya tanggapan. Menyumbang sembelihan, ongkos lebe, biaya video shooting
dan photography, biaya bikin
undangan, biaya tenda, beras dan tetek bengek lainnya.
“Ampuuuuuuun wongedan mangan aspal, sekabehane!”. Aku langsung
beranjak pergi. Kenapa ya semua orang pada usil sama status kita? Lama-lama
capek loh ditanyain kapan kawin? Tapi, aku susah banget menghindarinya. Habis
tiap ketemu orang selalu ditanya, “Anakira
pira neer?” Gimana mau punya anak? orang kawin juga belum.
Apalagi kalo
kebetulan lagi menghadiri pesta perkawinan, ada aja orang yang nanya, ”Kapan nih nyusul?” Kalo temen-temen sih
masih bisa dibilangin. Kalo mereka udah ngeliat aku BT, pastilah mereka diem
dan nggak berani lagi nyinggung soal perkawinan.
Paling asal nyeplos
kujawab, “tas panen kawine”. “Ahhh ...
panen-panen bae”. “Ya kan ana panen tahun maning tahun kien ora”.
Begitu aja
jawabannya. Dan selalu seperti itu. Untuk sekedar menghentikan bombardir
pertanyaan yang datang. Menikmati masa jomblo buatku sangat memberi ketenangan.
Yang bikin nggak tenang justru teror dari orang-orang yang nyuruh kawin.
Apa nggak terpikir
oleh mereka bahwa ada orang yang justru menikmati kebahagiaan karena
kesendiriannya?
Aku suka heran,
ternyata banyak loh orang yang takut sendirian. Dan banyak juga yang menikah
karena alasan takut hidup sendirian.
Bahkan ada juga
yang kawin asal comot karena merasa udah dikejar oleh usia. Dan aku
alhamdulillah nggak punya masalah dengan kesendirian. Alone is my middle name. Alone but not lonely!
Akan tetapi seorang
perempuan sederhana telah mengubah dan membolak-balik kehidupanku. Aku
mengenalnya karena bareng ngajar. Namanya Novi. Orangnya asyik. Senyumnya
menyejukkan, buat diskusi juga nyambung banget. Orangnya pinter banget. Segala
macam topik bisa kita diskusiin.
Anehnya, kenyamanan
itu terganggu oleh murid-muridku. Murid-murid ngecengin mulu. Padahal aku
berkali-kali katakan, aku sudah punya calon. Namanya Warnyem. “Ahhh, lebih cocok dan serasi sama ibu
novi”. Begitu selorohnya mereka. Aku tak pernah menggubris.
Seiring berjalannya
waktu. Kami memang dekat. Ada semacam kecocokan, tapi tak pernah kugubris rasa
nyaman ini. Mengapa? Ada harapan dari perempuan lain yang menyebutkan ia siap
menjadi istriku. Satu bulan sampai dua bulan, setelah aku uji beberapa kali.
Memang timbul sebuah harapan.
Logika memang
memaksa, tetap butuh kepastian. Persoalannya yang dihadapi cuma satu, tidak ada
yang siap menurut. Manut dan taat
pada apa yang telah dibicarakan. Menempuh langkah menuju pelaminan.
Aku ngotot dengan
tidak mau menunda, dia keukeuh tidak
bisa saat ini. Ada yang ingin dituntaskan dulu, ada yang harus ditunaikan dulu,
ada yang harus dicapai dulu. Aku nggak bisa menunggu, aku nggak sabar.
Prinsip memang
prinsip. Celaka memang, ketika ego dan prinsip tidak bisa dikalahkan oleh
cinta. Itu benih yang akan bisa timbul untuk retaknya sebuah biduk rumah
tangga. Jalan menuju perceraian, pintu yang bisa kapanpun terbuka. Cinta tak
bisa menjadi perekat dan magnet untuk bersatu.
Tapi, Novi memang
berbeda. Ia sangat berbeda dari beberapa cewek yang pernah mampir dalam
hidupku. Karena merasa cocok satu sama lain kami jadi sering ketemuan. Novi ini
hampir nggak pernah membuat aku kesel apalagi marah. Orangnya easy going banget.
Kalo aku lagi ekspresif
lalu mengatakan “Pangling temen anggo
kudung kien, pi”. Dia nyautnya, ”Oh
ya pangling apane, biasa bae? Suwun ya pujiane, gawe hari-harine kita dadi luih
semangat” Atau kalo dia berdandan, bajunya bagus, lantas aku komentar.
”Pantes temen ya kesawange, dadi luih ayu kedelenge”. Dia nyautnya
begini, ”Serius? Padahal kita kuh bli
pede, kita kan bocah kampung, apa bli isin. Biasane kan batur wadone
keren-keren. Bocah kota. Suwun ya, baik pisan sih dadi wong”.
Bahkan pujian
basa-basi seperti, ”Seneng deleng
pakeane, sportif banget, apamaning meseme, manis pisan kesawange”. Dia
nyaut, ”Kangmas gah ganteng. Beruntung
pisan ya sing dadi rabine”.
Sepele kan
keliatannya? Tapi jawabannya sangat menyejukkan hatiku. Apalagi saat ia bilang
salam dan mencium tanganku.
Sepengalamanku,
kalo lagi muji perempuan, mereka sering nyautnya ngeselin. Misalnya ‘Gombal pisan’ atau ‘yah saban wadon gah dirayu mengkonon’.
Mereka nggak
menyadari bahwa jawaban seperti itu akan membuat cowok jadi mikir 100 kali kalo
mau muji lagi. Hehehehehehe. Yang paling parah, aku pernah berantem besar sama
pacar dulu.
Waktu itu aku lagi
kangen banget sama dia. Begitu kangennya sampe aku kirim sms ‘I love you,
sayang. Peluk, cium hangatku’.
Dan apa yang
terjadi? Pacarku ngamuk dan menuduhku cintanya cuma nafsu. Dia merasa yakin
bahwa sms itu nggak senonoh. Selalu jorok dan hanya hawa nafsu.
Pernah juga aku
berantem sama pacar gara-gara inbokan sama cewek cantik di facebook. Udah
cantik, dia menawan, humoris pula. Kulitnya kuning langsat bercahaya dengan
wajah yang sangat rupawan.
Siapa sih yang
nggak kesengsem ngeliat cewek kayak
gitu? Inbok duluan pula, meski jualan drama. Merasa didholimi orangtuanya yang
menjodohkannya, katanya mengiba. Ladenin itu aja, disangka yang nggak-nggak.
Malah dituduh selingkuh. Aku juga salah sih, ngladenin dia.
“Dasar bajingan, dasar mata keranjang! Udah punya pacar
sendiri, masih juga ladenin cewek lain? Dasar buaya! Selingkuh. Aku kecewa” bentaknya. Padahal
kan cuma inbokan doang. Alasan balesin juga sebatas guyon dan menjadi pendengar
setia. Nggak ada maksud apa-apa.
Kalo sama Novi
nggak pernah gitu. Justru, dia inferior. Merasa anak kampung, apa nggak malu
kenal sama anak yang kurang gaul. Atau juga kelakarnya. Nggak percaya seorang
Meneer Panqi gitu loh, masa nggak punya cewek. Asyik kan? Makanya aku selalu
merasa nyaman kalo ngobrol sama Novi.
Kalo nggak ada dia,
rasanya nggak asyik. Aku selalu membutuhkan kenyamanan itu. Rasa nyaman yang
utuh yang belum pernah aku miliki dari perempuan yang pernah kukenal
sebelumnya.
Percaya nggak? Aku
lebih mengidolakan kata ‘nyaman’ daripada kata ‘cinta’. Buatku rasa nyaman
lebih gampang dirasakan daripada rasa cinta yang selalu penuh keragu-raguan.
Kata ‘nyaman’ lebih
bersahabat sementara ‘cinta’ terlalu sulit untuk dipegang. Percayakah kalian
bahwa rasa nyaman adalah kunci menuju kebahagiaan?
Dan kata ‘nyaman’
juga berlaku dalam semua hubungan. Baik itu hubungan personal, profesional
maupun hubungan bisnis. Contoh paling sederhana. Banyak sekali orang yang ke
luar dari perusahaan hanya karena merasa nggak nyaman dengan suasana kantornya.
Ketidaknyamanan itu
bisa datang dari koleganya, dari atasannya atau dari atmosfirnya. Banyak deh.
Misalnya nyaman akan berbeda. Kita bisa ngobrol seperti temen, bisa ngopi
bareng, bisa ngobrol asik sama-sama.
Aneh memang, tapi
fakta. Saking pentingnya rasa nyaman itu sehingga membuat orang rela mengorbankan
segalanya. Demi rasa nyaman orang bisa melepaskan segalanya.
Dan itu terjadi
padaku. Suatu hari, di rumahnya. Aku sengaja mendekat. Plaaaaaaaaak, aku
ditampol. Aku cemas dia marah, takut kenyamanan ini akan berakhir. Segera aku
minta maaf.
“Aduhhh lara. Maaf wis lancang. Mas bajingan”.
“Iya ora apa-apa, mas. Lara ya mas, pengen bli aja
ditampol maning? Ana sarate?”
“Apa kuh sarate?”
Kami tertegun
sejenak, ia semacam canggung ngomongnya. Sekitar satu menit kemudian, melihat
gelagatnya yang susah bicara. Aku sodorkan hp, supaya ia ketik saja apa yang
ingin diucapkannya.
“Nikahin aku, mas. Itu syaratnya”.
Kami terdiam.
Masing-masing asik dengan pikirannya sendiri. Sampai kemudian aku berkata, “Kita menikah?”. “Iya, kita menikah!”
jawab Novi tetap enteng. Aneh banget. Aku yang ditolak enam kali tiba-tiba ada
yang menantang menikah.
Nggak tahu kenapa,
semua terjadi begitu aja. Spontan tapi serius. Aku curiga bahwa aku ingin
memiliki kenyamanan bersama Novi selamanya. Aku nggak rela kehilangan kebersamaan
itu. Yang lebih aneh lagi adalah Novi.
Dia langsung iya
aja aku ajak kawin. Biasanya cewek memerlukan pemikiran yang jauh lebih serius
kalo mau kawin. Biasanya penuh pertimbangan kalo mau dilamar orang.
Lalu kita pun
kawin. Kita bikinnya sederhana banget bahkan cenderung tema alakadarnya. Cuek
banget! Semuanya kami urus berdua. Dalam waktu hanya dua hari. Satu hari urusan
administrasi dan naib di KUA.
Akad nikah kami
cukup di mushalla aja. Soal Pelaminan? Kami nggak butuh pelaminan. Setelah
acara ijab-qabul langsung ramah-tamah. Dan kami berdua langsung berbaur dengan
tetamu. Nggak ada acara antri-antrian.
Semua orang yang
datang bisa langsung ngasih selamat. Kedua keluarga kami alhamdulillah nggak
terlalu cerewet dengan cara kami menikah. Yang penting dateng aja ke mushalla
tanggal 3 Juni 2016 ba’da shalat jum’at.
Sebenernya ada juga
sih beberapa kendala, tapi alhamdulillah semua kendala itu bisa kami atasi.
Caranya sederhana, cuekin aja! Hehehehehehe. Alhamdulillah, perkawinan
berlangsung cukup lancar.
Memang ada beberapa
masalah kecil, namanya orang baru pertama kali menikah pastinya belum
pengalaman kan? Misalnya, sebelum acara ijab-qabul lebenya bilang, “Neer, sapa sing duta wicara penganten
lanang?” Sebelum ijab-qabul ternyata harus ada serah terima penganten.
“Harus ada ya? Iya memang harus ada. Nggak bisa
langsung ijab Kabul langsung?” tanyaku dengan bodohnya.
Harus ada sambutan.
Aduh kebingungan, Tengok kanan tengok kiri. Diujung pojok belakang aku melihat
Ketua MUI datang hadir, Kyai Zainuddin. Ada haru biru, semoga beliau siap jadi duta wicara penganten lanang.
Setelah meminta
kepada Abah Sa’al untuk mengkonfirmasinya, alhamdulillah untung beliau
bersedia. Maklum aku sempat gelagapan, gimana mau memberikan sambutan, anggota
keluargaku petani totok. Nggak biasa ngomong pake mic. Gimana memberikan sambutan "serah penganten lanang"
yang akan dijawab dengan sambutan "terima penganten wadon".
Ternyata ribet juga
ya menikah? Ada baca al-Quran, serah terima penganten, khotbah nikah, nggak
bisa langsung ijab qabul. Ada yang unik dalam akad nikahku, biasanya mempelai
duduk bersama. Aku bingung, calon istriku nggak nongol-nongol.
Makanya sebelum akad
berlangsung, aku protes. “Engko dikit
kang. Mbari nylinguk mengguri. Emaaaaaaa ... semaaaa, waris wadon, tolong
delengen penganten wadon sebab sing mau ora ngaton-ngaton. Raksaen mbokan
penganten wadone kabur!”
Semua pada tertawa,
mendengar kelakarku. Aku memang canggung. Sengaja mencairkannya sebelum ijab
berlangsung.
Selesai ijab-qabul,
masalah berikutnya dateng lagi. Seorang famili nyamperin aku sambil bilang, “Neer, itu naib disuruh makan kok nggak mau?
Diajak ngomong juga mukanya asem, persis lagi marah gitu…”
“Masya Allah!! Aku lupa belum kasih uang transport
penghulu”
huahahahahahaha. Langsung aku samperin dia lalu menyerahkan amplop berisi uang
kepadanya. Setelah menerima amplop yang memang udah aku siapkan, barulah
mukanya berseri-seri kembali dan mau mencicipi hidangan.
Peristiwa terakhir
lebih lucu lagi. Aku kan nggak bikin undangan perkawinan. Semua tamu aku undang
cuma pake pesan. Isinya :
“Yen bli repot, iseng, anggar-angguran dina jumat,
mending teka ning mushalla al falah, Sudimampir lor. Bada shalat jumat tanggal
3 Juni 2016. Kita wong loro arep kawinan. Menir & Nopi. Matur suwun”
Nah, temen-temen
nih kebanyakan nggak ada yang percaya. Semua dikira hanya guyon dan gurau
belaka. Nggak banyak sih, tapi lumayan hujanan protes datang bertubi-tubi.
Pertanyaannya
selalu sama, “kok nggak undang-undang
sih?”. Aku tahu itu basa-basi doang. Aslinya sih, ya karena nggak mengangep
penting momentum akad nikahku. Yang jauh aja datang, padahal nggak diundang.
Aku terharu, dia menganggapku sudah sebagai sahabatnya.
Ada beberapa orang
yang getol menyuruhku kawin, suruh cepet-cepet malahan. Sekarang pas aku
beneran kawin kok malahan dia mangkir. Nggak datang. Boro-boro sembelehannya,
boro-boro ongkos lebe-nya, menyempatkan hadir aja nggak bisa. Batinku, awas ya
kalo ketemu aku sewot-sewotin, bila perlu nagih janjinya.
Hari ini aku
kembali dengan rutinitasku kembali, aku pamit sama istri. Itulah pamit
pertamaku kerja sebagai suami kepada isterinya.
Begitu pergi, aku
sengaja belanja minuman dulu. Pas belanja ketemu si tukang ledek, si tukang
poyok. Dia kebingungan, seperti sangat malu. Aku cuekin aja. Nggak bermutu
argumentasinya. Pembenaran saja.
“Iya sorry neer. Tapi ora bisa nyalahkena reang?”
“Ora usah akeh alesan, nangapa bli bisa teka?”
“Yongan sira tah ngundange nganggo sms, reang mikir ya
lagi guyonan”.
Mukanya dipasang
sangat serius semacam rasa bersalah.
“Huahahahahahahaha…” Bener juga ya?.
***
Via
cerpen
Posting Komentar