Tahun
1886 Sistem Cultuur Stelsel sudah
lama berakhir semenjak tahun 1870 yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Agraria
dengan masuknya perusahaan-perusahaan Belanda untuk membuka
perkebunan-perkebunan. Namun, nasib rakyat tidak banyak berubah.
Dengan
membaca sejarah akan terlihat bahwa Raja Belanda telah memakmurkan negara dan
rakyat Belanda sedangkan para raja, bupati di Indonesia malah membiarkan
rakyatnya hidup sengsara dan menderita. Rakyat Indonesia juga miskin dengan
pendidikan sehingga masih banyak yang buta huruf.
Pada
zaman VOC, negeri Belanda telah mempunyai beberapa universitas. Sedangkan
Indonesia, satupun belum memiliki. Baru tahun 1920-an Indonesia memiliki
sekolah kedokteran, sekolah teknik tinggi untuk pribumi, itupun atas prakarsa
orang Belanda (antara lain Van Deventer)
dengan politik etis, bukan prakarsa para raja atau bupati Hindia Belanda.
Saya
menjadi heran, masih banyak orang Indonesia yang berpikiran feodal dengan
membuat silsilah keluarga besarnya yang dikaitkan dengan para raja, para
ningrat dan para bupati zaman Belanda yang secara historis telah membiarkan
rakyat Indonesia sengsara.
Lihatlah
dukungan Asisten Residen Douwes Dekker yang orang Belanda di mana ia berusaha
melindungi rakyat Banten dari kekejaman cultuur
stelsel dengan menentang Bupati Lebak yang pro cultuur stelsel dan menyengsarakan rakyat. Bacalah buku ‘Saija Dan Adinda’.
Tanpa
membiasakan membaca sejarah, para intelektual Indonesia menjadi tidak peka atas
lingkungan di sekitarnya dan di lingkungan negaranya sendiri.
Kemudian
lahirlah 'Politik Etis atau Politik Balas Budi' adalah suatu pemikiran yang
menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi
kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam
paksa.
Munculnya
kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer
(politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan
nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada
17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral
dan hutang budi (een eerschuld)
terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Ratu
Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis,
yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
(1)
Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan
bendungan untuk keperluan pertanian. (2) Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk
bertransmigrasi. (3) Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan
pendidikan.
Banyak
pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan
tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya,
sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan
pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan
memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi.
Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh
politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali
dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia
Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini
adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925).
Seorang
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak
tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun
rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Pada
dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para pegawai Belanda.
Seperti
disebut di atas, ‘Politik Etis’ membuka jalan bagi kaum bumiputra untuk
memperoleh pendidikan modern dan meningkatkan kemampuan mereka membaca dan
menulis. Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa memberi pendidikan dapat
melahirkan gagasan-gagasan pembebasan yang akan membahayakan kekuasaan mereka.
***
[Foto/artikelinspiratif]
Posting Komentar
Posting Komentar