Opini
Banjir Indramayu: Musibah Lintas Zaman
Gambar 1. Banjir tahun 1950, akibat tanggul jebol di Desa Pagirikan. Sumber : Koleksi Nang Sadewo. |
Pendahuluan
Menjelang
musim hujan, beberapa wilayah di Kabupaten Indramayu rawan banjir. Terdapat 28
titik tanggul kritis dan rawan jebol serta berpotensi menyebabkan banjir saat
frekuensi hujan tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air
Kabupaten Indramayu, ada 28 titik tanggul kritis yang tersebar dari Bendung
Rentang sampai muara.
Selain
banjir atau genangan rutin di beberapa wilayah cekungan, sejumlah titik di
Indramayu juga kerap mengalami banjir akibat bencana alam seperti tanggul jebol
dan kiriman air dari hulu.
Potensi
banjir akibat bencana atau tanggul jebol ini semakin tahun semakin besar karena
sejumlah titik tanggul berada dalam kondisi kritis dan tak kunjung diperbaiki
dengan alasan keterbatasan dana. Selain itu, banyak saluran yang mesti segera
mendapatkan normalisasi atau dikuras lagi agar bisa berfungsi normal sebagai
saluran.
Normalisasi
beberapa anak sungai menjadi kebutuhan mendesak, untuk wilayah barat Indramayu yang berada dalam
kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. Sejumlah titik di kawasan
tersebut sudah langganan tergenang banjir setiap tahun seperti di Kecamatan
Sukra dan Kecamatan Patrol.
Beberapa
anak sungai yang perlu segera dilakukan normalisasi adalah Kali Masetan Desa Sumuradem, Kec.
Sukra yang memiliki daya tampung air kecil. Selain itu, Kali Bugel, Desa Bugel, Kali Legok, Kec.
Patrol, Bendung Kali Beji Eretan Kulon, Desa Kertawinangun, Kali Glodog, Kec.
Kandanghaur, dan Kali Cilet di Kec. Losarang.
Sejumlah
titik tanggul di wilayah timur yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah
Sungai Cimanuk-Cisanggarung juga memerlukan perbaikan segera.
Sebagai
informasi, berdasarkan keterangan dari BBWSCC, di sepanjang alur Sungai Cimanuk
tercatat sebanyak 349 titik tanggul masuk dalam kategori rusak dan rawan
longsor. Kerusakan tanggul terbanyak menyebar antara Kab. Indramayu sampai Kab.
Majalengka.
Selain
tanggul rusak, kerusakan pintu air menjadi masalah saluran pengairan di
Indramayu. Terdapat sedikitnya 236 pintu air yang tak berfungsi karena rusak
dan perlu segera diperbaiki.
Bantuan dan perbaikan sudah diprogramkan BBWS
Citarum dan Cimanuk-Cisanggarung agar masalah banjir di barat dan tanggul di
timur bisa dikurangi.
***
Gambar 2. Banjir pada akhir tahun 1970'an. Sumber : Nang Sadewo. |
Jangan
kita anggap enteng banjir itu mudah ditangani. Namun, kita juga tidak boleh
membiarkan, sebab ada batas-batas tertentu yang dapat diatasi. Sebagai manusia, kita wajib berikhtiar.
Desa
Pagirikan Kecamatan Pasekan, Indramayu pada tahun 1950 pernah mengalami
jebolnya tanggul. Mengakibatkan banyak rumah penduduk yang tenggelam dan menyebabkan pengungsi membuat tenda-tenda di sepanjang tanggul
Bengawan Cimanuk yang tidak jebol.
Akhir
tahun 1970’an, Pemda Indramayu juga menghadapi banjir yang melebihi kebiasaan. Hujan
deras berkepanjangan telah mengakibatkan banjir besar di Indramayu.
Banjir ini
banjir terbesar sepanjang sejarah banjir di Kota Mangga, banyak menyebutnya
sebagai banjir terbesar di Indramayu sejak 1935. Inilah penyebab kenapa DAS Cimanuk akhirnya disodet dan tak lagi melintasi dan membelah Indramayu Kota, pada dekade tahun 1980'an?
Gambar 3. Banjir menggenangi Jalan S. Parman Indramayu pada tahun 1935. Sumber : KITLV. |
Bagaimana
sesungguhnya posisi banjir dalam rentang sejarah Indramayu?
Dari
awal Belanda datang ke Pelabuhan Cimanuk, selanjutnya disebut Darmajoe dan Indramajoe,
ada kesadaran bahwa Darmajoe mirip dengan Batavia, ibu kota Hindia Belanda yang
terkena musibah banjir pada tahun 1892. Belanda kemudian menggali kanal-kanal
untuk mengendalikan air di Indramayu.
Namun,
Belanda rupanya salah membaca Indramayu. Berbeda dengan Jakarta, Indramayu wilayahnya terlampau lima kali lebih luas daripada Jakarta. Wilayah datar hasil sedimentasi dari Bengawan Wetan—Cimanuk.
Juga, dengan
penduduk yang multietnis dan multikultural. Ada budaya yang mengakar menganggap sungai sebagai
bagian dari halaman belakang, tempat membuang semua sampah dan kotoran, yang mana malah membuat
kanal-kanal itu sering tersumbat.
Dengan
segala persoalan kultural tersebut, sedangkan letak Indramayu hanya 0-6 meter di atas
permukaan laut (dpl) dan daerah tertinggi di Desa Haurkolot Kecamatan Haurgeulis,
24 meter dpl, kehadiran kanal-kanal itu kurang membantu mengatasi banjir.
Apalagi bila air laut yang pasang berkombinasi dengan curah hujan tinggi di
hulu Cimanuk dan 13 sungai lain yang tergolong besar.
Gambar 4. Ilustrasi Banjir Bandang Jaman Kerajaan Manukrawa, Sumber : Komunitas Historia. |
Banjir
bahkan telah merendam Indramayu sejak Kerajaan Manukrawa abad IV. Maka Prabu
Welut Braja membendung Sungai Sarasah—Ciamanuk. Juga, membuat saluran irigasi
untuk mengendalikan banjir dan mengairi daerah pertanian.
***
Indramayu
sebenarnya bukan satu-satunya kota yang bermasalah. Jakarta misalnya, bahkan
lebih parah meski secara geografis dan klimatologis tak jauh beda. Bedanya,
perkembangan Jakarta nyaris tanpa kendali.
Jakarta dirancang Belanda mampu menampung
600.000 jiwa hingga 1945, data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah
penduduk meningkat menjadi 2,9 juta tahun 1961, naik lagi menjadi 4,6 juta
(1971), dan menjadi 6,5 juta tahun 1980.
Maka
Jakarta yang menjadi magnet urbanisasi berkembang tumpang tindih luar biasa.
Perencanaan tata ruang dilanggar, dan pengembangan kota berlangsung tanpa
jaringan drainase yang terintegrasi. Kawasan yang seharusnya menjadi ruang
terbuka hijau, situ, atau daerah limpasan air, berubah menjadi kompleks
perumahan.
Tidak
mengherankan bila di Jakarta terjadi banjir besar tahun 1977 meski berbagai
upaya pencegahan sudah dilakukan, justru semakin sering dan semakin besar
skalanya pada tahun-tahun berikutnya.
Tahun 1984 dan tahun 1985 misalnya,
ruas-ruas jalan utama dan sejumlah kawasan permukiman kembali terendam.
Padahal, pasca banjir 1977, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL)
mengeluarkan anggaran Rp 50 miliar untuk mengatasinya.
Setelah
itu, hampir setiap tahun banjir terjadi. Banjir-banjir besar juga melanda tahun
1994, 1996, 1999, 2002, 2007, dan 2013 (Zaenuddin HM dalam Banjir Jakarta, dari
Zaman Jenderal JP Coen (1621) sampai Gubernur Jokowi (2013), Change Publisher
2013).
Wilayah yang terendam banjir semakin luas dan semakin lama, penduduk
yang mengungsi semakin besar, dan nilai kerugian semakin membengkak.
Banjir
Jakarta tahun 2002, mengakibatkan 365.000 penduduk mengungsi dan 21 korban
jiwa. Tahun 2007, banjir membuat sentra-sentra ekonomi tutup, lalu lintas
terputus, dan sekolah-sekolah diliburkan.
Listrik mati dan ratusan penerbangan
dalam dan luar negeri dibatalkan. Selama empat hari, Jakarta lumpuh total.
Korban tewas 60 orang akibat terseret arus air atau tersengat aliran listrik,
320.000 warga mengungsi, dan kerugian Rp 4,3 triliun.
Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, tahun 2013 banjir melanda 720
RT, 73 kelurahan, dan 31 kecamatan dari total 44 kecamatan di DKI Jakarta.
Kerugian ditaksir mencapai Rp 20 triliun.
Apa
mau Indramayu senasib dengan Jakarta? Apalagi cenderung trend banjir tiap tahun sejak 2014. Selalu terjadi banjir saat musih hujan datang. Berikut arsip yang bisa didokumentasikan.
Banjir 2014
@Nidah Nacita |
@Rusnendi |
@Iin |
@Iin |
Gambar 5, 6, 7, 8, 9, 10. Banjir 2014 banjir terbesar sejak 30 tahun terakhir di Indramayu. Foto diambil di berbagai wilayah di Indramayu. |
Banjir 2015
Gambar 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18. Banjir akibat tanggul Cimanuk jebol di Pilangsari Jatibarang. Sumber : Bobi |
Banjir 2016
Gambar 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27. Banjir akibat tanggul jebol di desa Waledan Pasekan. Sumber : Sutrisno |
Menata
Banjir Indramayu
Persoalan
utama banjir yang harus dipecahkan sekarang adalah siklus yang semakin sering
serta daerah genangan yang semakin luas dan lama. Harusnya Pemda menyadari
perlu penanganan banjir secara terpadu.
Persoalan ekologi harus diselesaikan
dari hulu hingga hilir. Membangun kota perlu sinergi dengan banyak pihak. Karena itu,
tidak cukup mengandalkan kerja rutin, butuh terobosan besar.
Barangkali
perlu adanya grand design, Indramayu Kanaal, dari hulu ke hilir. Konsep “Indramayu
Kanaal” ini merupakan perluasan Indramayu tanpa penyatuan wilayah
administratif, sehingga beban Indramayu dibagi ke wilayah yang teraliri DAS
Cimanuk & Citarum seperti Majalengka, Sumedang, dan Subang.
Paralel
dengan itu, pemerintah harus segera mengimplementasikan rencana induk penataan
sungai di Indramayu, mulai dari normalisasi sampai pelarangan penduduk
membangun bangunan di bantaran sungai.
Kawasan
terbuka hijau, situ, dan waduk-waduk difungsikan kembali, sekaligus
mengintegrasikan sistem drainase. Hal lain yang tak kalah penting adalah
mengubah pola pikir seluruh pemangku kepentingan dengan merumuskan dan
mempraktikkan sikap hidup yang bersahabat dengan alam.
Perlu
disadari segenap upaya ini lebih untuk menurunkan intensitas dan dampaknya,
karena tak ada jaminan banjir berhenti melanda.
Ir. Sutami mengatakan, ada
peran faktor-faktor yang tak dapat diatasi seperti cuaca, air pasang, dan
siklus alam lainnya. Namun, manusia harus terus berusaha sampai batas-batas
kemampuannya.
***
Sumber
:
BPS Indramayu
Bapeda Indramayu
www.kompas.com
Via
Opini
Posting Komentar