biografi
[Bio] Carpan, Maestro Topeng Laki-laki
![]() |
Mama Carpan. Sumber : Nang Sadewo |
Mama
Carpan (1940-2012), begitulah sapaan akrabnya. Mama adalah gelar
kehormatan dalam wilayah budaya Dermayu-Cerbon. Gelar mama biasanya diberikan khusus
kepada tokoh-tokoh masyarakat yang memang punya keahlian tertentu, orang yang dituakan,
sesepuh desa. Mama juga biasa untuk penyebutan bapak kandung.
Dilahirkan
di Desa Cibereng, Kecamatan Losarang, sebuah wilayah yang dikelilingi areal
persawahan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tahun 1940. Anak ketiga dari lima
bersaudara ini, belajar menari topeng sejak umur 9 tahun.
Awalnya,
ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya dari satu
tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak pulang ke
rumah. Oleh karenanya, ia tidak sempat mengenyam bangku sekolah, terlalu sibuk
manggung.
Walaupun
tidak bisa membaca dan menulis, ia tidak merasa rendah. Sebaliknya, dia justru
bangga menjadi seorang dalang topeng. Apalagi istrinya, Carniti sangat
mendukungnya. Istrinya adalah salah satu motivatornya ketika semangatnya
melemah lantaran order manggungnya berkurang.
Silsilah
Dalang Topeng
Kesenian
yang telah membesarkan namanya adalah tari topeng gaya Cibereng. Karena
kesenian tersebut tumbuh dan bertahan di Desa Cibereng, Kecamatan Terisi, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Sebagaimana kesenian tradisi lainnya, kesenian ini
tumbuh dan tetap dipertahankan para pendukungnya yang setia.
Dalam
silsilah dalang topeng tersebut, Carpan merupakan generasi ke-10. Mereka semua
masih satu garis keturunan. Baik yang menyangkut hubungan keluarga sebagai
ayah, paman, kakak, atau adik. Kakek, nenek, bahkan buyutnya merupakan dalang
dan sekaligus pendiri Topeng Cibereng. Dengan
rinci Carpan menyebut urutannya sejak Konjab, Kandra, Dawang, Kojat, Wartani,
Maryan, Bi Warsih, Sawen, dan Noor.
![]() |
Topeng Warisan Leluhur Mama Carpan. Sumber : Ferdi Topeng |
Sebagai
warisan leluhur, Topeng Cibereng bukan hanya merupakan kelompok kesenian
semata. Kesenian topeng memiliki makna spiritual sehingga pelakunya harus
menjalani ”laku” yang disyaratkan. Hingga kini, Carpan masih menjalani puasa
selama seminggu dalam sebulan, hanya dengan makan nasi putih dan air putih.
Ia
juga menempatkan benda-benda keseniannya di tempat yang terhormat. Di antara
beberapa jenis topeng yang digunakan, dua di antaranya—topeng panji dan topeng
tumenggung—menempati urutan paling tinggi karena merupakan warisan leluhurnya.
Kedua topeng itu merupakan topeng pusaka sehingga tidak bisa digunakan oleh
sembarang orang.
Sekalipun
masih berada dalam satu rumpun kesenian golongan tari topeng, Topeng Cibereng
memiliki perbedaan mendasar yang tidak akan dijumpai dalam tari topeng dari
daerah lain di Indramayu ataupun Cirebon. Perbedaan tersebut dijumpai dalam
salah satu atraksi dari pagelaran tarian ini, yakni gerakan tarinya terlihat
bervariasi.
Kelebihannya
yang lain terletak pada gerakan mundur yang tak cuma lurus, tetapi juga bisa
miring ke sana-ke mari. Oleh karena itu, di masa mudanya ia selalu bisa
menjatuhkan lawan di panggung kalau menari kupu tarung.
Selain
keahlian mundur dengan gerakan miring, hentakan kaki dan kuda-kuda, ia dikenal
sangat kuat menjenjak ke tanah. Oleh karena itu, sampai masa tuanya belum ada
yang mampu menjatuhkan saat menari kupu tarung.
Gaya
tari Topengnya, seperti dikatakan budayawan Indramayu Nurochman Sudibyo,
berbeda dengan Rasinah, Wangi Indriya, Sawitri maupun Sujana Arja. Menurutnya,
tari topeng Carpan sangat ’ideologis’. Cenderung sebagai tarian ritual daripada
tari topeng umumnya, yang lebih bersifat menghibur. Tari topengnya lebih murni,
bebas dari pengaruh tayub dan jaipongan.
Menjadi
Penari Topeng
Dalang
topeng merupakan tokoh utama dari kelompok kesenian yang dipimpinnya. Ia bukan
hanya piawai di bidangnya sehingga disegani awak kesenian yang dipimpinnya.
Pergulatan Carpan di atas panggung dengan topeng cibereng hampir menyita
sepanjang usianya.
Anak
ketiga dari lima bersaudara itu sudah belajar menari topeng sejak umur 9 tahun.
Mula-mula ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya
dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak
pulang ke rumah.
Ia
menjadi dalang topeng setelah Kojat, pamannya, meninggal dunia. Namun, ia
tampil tidak sendiri melainkan bersama Sawen, adik kandungnya. Kakak-beradik
yang tergabung dalam dalang Topeng Ciberem ’Sekar Muda’ ini sempat menikmati
masa jaya pada era sebelum tahun 1990-an.
Dalam
setiap pementasannya bersama Sawen, ia kerap membawakan beberapa gaya tarian
diantaranya Panji, tarian Diam, Samba Putih, Samba Merah, Tumenggung, maupun
Kelana.
Akan
tetapi, sejak tahun 1993 kesempatan manggung-nya terus berkurang. Seperti
dialami kesenian, satu per satu penduduk yang biasa menyelenggarakan pagelaran
topeng di pesta atau hajatan mulai beralih ke organ tunggal. Organ tunggal
dianggap memenuhi tuntutan hiburan masa kini, terutama kalangan muda. Topeng
dan kesenian tradisional lainnya pun makin terpinggirkan.
Meskipun berkurang order panggungan dari masyarakat, Mama Carpan pernah juga pentas keliling
kota-kota di Indonesia. Seperti di Bali, Bandung dan Jakarta pada tahun
1990-an.
Dedikasinya
pada dunia tari topeng berbuah berbagai penghargaan, baik dari Bupati Indramayu
dan Gubernur Jawa Barat, sebagai Mestro Penari Topeng Laki-laki.
Setelah
kepergiannya pada akhir tahun 2012, tepatnya tanggal 7 Desember. Satu-satunya
lahan yang masih tersisa untuk pagelaran Topeng Cibereng hanyalah pada saat
”Ngarot”, yakni upacara menyambut masa turun ke sawah yang rutin dilakukan
setahun sekali di Desa Lelea. Lelea yang terletak di Kecamatan Cikedung
merupakan tetangga Desa Cibereng, Kecamatan Trisi.
Untungnya,
Mama Carpan sudah melakukan regenerasi gaya topeng Cibereng. Sekarang tari
tersebut diwariskan kepada anak, cucu, bahkan cicitnya. Sebagaimana yang biasa
dilakukan maestro seni lainnya, melakukan tradisi regenerasi.
***
Meneer
Pangky
Pengamat Budaya Amatir
Pengamat Budaya Amatir
Sumber
:
Kompas,
Sabtu, 1 Mei 2010
Wawancara
dengan Ki Tapa Kelana (Nurrochman Sudibyo)
Via
biografi
Posting Komentar