Tokoh
Mama Carpan, begitulah sapaan akrabnya. Mama adalah gelar kehormatan dalam wilayah budaya Dermayu-Cerbon. Gelar mama biasanya diberikan khusus kepada tokoh-tokoh masyarakat yang memang punya keahlian tertentu, orang yang dituakan, sesepuh desa. Mama juga biasa untuk penyebutan bapak kandung.
Dilahirkan di Desa Cibereng, Kecamatan Losarang, sebuah wilayah yang dikelilingi areal persawahan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tahun 1940. Anak ketiga dari lima bersaudara ini, belajar menari topeng sejak umur 9 tahun.
Awalnya, ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak pulang ke rumah. Oleh karenanya, ia tidak sempat mengenyam bangku sekolah, terlalu sibuk manggung.
Walaupun tidak bisa membaca dan menulis, ia tidak merasa rendah. Sebaliknya, dia justru bangga menjadi seorang dalang topeng. Apalagi istrinya, Carniti sangat mendukungnya. Istrinya adalah salah satu motivatornya ketika semangatnya melemah lantaran order manggungnya berkurang.
Silsilah Dalang Topeng
Kesenian yang telah membesarkan namanya adalah tari topeng gaya Cibereng. Karena kesenian tersebut tumbuh dan bertahan di Desa Cibereng, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sebagaimana kesenian tradisi lainnya, kesenian ini tumbuh dan tetap dipertahankan para pendukungnya yang setia.
Dalam silsilah dalang topeng tersebut, Carpan merupakan generasi ke-10. Mereka semua masih satu garis keturunan. Baik yang menyangkut hubungan keluarga sebagai ayah, paman, kakak, atau adik. Kakek, nenek, bahkan buyutnya merupakan dalang dan sekaligus pendiri Topeng Cibereng.
Dalang topeng merupakan tokoh utama dari kelompok kesenian yang dipimpinnya. Ia bukan hanya piawai di bidangnya sehingga disegani awak kesenian yang dipimpinnya. Pergulatan Carpan di atas panggung dengan topeng cibereng hampir menyita sepanjang usianya.
Anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah belajar menari topeng sejak umur 9 tahun. Mula-mula ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak pulang ke rumah.
Ia menjadi dalang topeng setelah Kojat, pamannya, meninggal dunia. Namun, ia tampil tidak sendiri melainkan bersama Sawen, adik kandungnya. Kakak-beradik yang tergabung dalam dalang Topeng Ciberem ’Sekar Muda’ ini sempat menikmati masa jaya pada era sebelum tahun 1990-an.
Dalam setiap pementasannya bersama Sawen, ia kerap membawakan beberapa gaya tarian diantaranya Panji, tarian Diam, Samba Putih, Samba Merah, Tumenggung, maupun Kelana.
Akan tetapi, sejak tahun 1993 kesempatan manggung-nya terus berkurang. Seperti dialami kesenian, satu per satu penduduk yang biasa menyelenggarakan pagelaran topeng di pesta atau hajatan mulai beralih ke organ tunggal. Organ tunggal dianggap memenuhi tuntutan hiburan masa kini, terutama kalangan muda. Topeng dan kesenian tradisional lainnya pun makin terpinggirkan.
Meskipun berkurang order panggungan dari masyarakat, Mama Carpan pernah juga pentas keliling kota-kota di Indonesia. Seperti di Bali, Bandung dan Jakarta pada tahun 1990-an.
Dedikasinya pada dunia tari topeng berbuah berbagai penghargaan, baik dari Bupati Indramayu dan Gubernur Jawa Barat, sebagai Mestro Penari Topeng Laki-laki.
Setelah kepergiannya pada akhir tahun 2012, tepatnya tanggal 7 Desember. Satu-satunya lahan yang masih tersisa untuk pagelaran Topeng Cibereng hanyalah pada saat ”Ngarot”, yakni upacara menyambut masa turun ke sawah yang rutin dilakukan setahun sekali di Desa Lelea. Lelea yang terletak di Kecamatan Cikedung merupakan tetangga Desa Cibereng, Kecamatan Trisi.
Untungnya, Mama Carpan sudah melakukan regenerasi gaya topeng Cibereng. Sekarang tari tersebut diwariskan kepada anak, cucu, bahkan cicitnya. Sebagaimana yang biasa dilakukan maestro seni lainnya, melakukan tradisi regenerasi.
***
Sumber:
Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010
Wawancara dengan Ki Tapa Kelana (Nurrochman Sudibyo)
Biografi | Carpan, Maestro Topeng Laki-laki
Mama Carpan (1940-2012). Foto/Nang Sadewo |
Dilahirkan di Desa Cibereng, Kecamatan Losarang, sebuah wilayah yang dikelilingi areal persawahan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tahun 1940. Anak ketiga dari lima bersaudara ini, belajar menari topeng sejak umur 9 tahun.
Awalnya, ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak pulang ke rumah. Oleh karenanya, ia tidak sempat mengenyam bangku sekolah, terlalu sibuk manggung.
Walaupun tidak bisa membaca dan menulis, ia tidak merasa rendah. Sebaliknya, dia justru bangga menjadi seorang dalang topeng. Apalagi istrinya, Carniti sangat mendukungnya. Istrinya adalah salah satu motivatornya ketika semangatnya melemah lantaran order manggungnya berkurang.
Silsilah Dalang Topeng
Kesenian yang telah membesarkan namanya adalah tari topeng gaya Cibereng. Karena kesenian tersebut tumbuh dan bertahan di Desa Cibereng, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sebagaimana kesenian tradisi lainnya, kesenian ini tumbuh dan tetap dipertahankan para pendukungnya yang setia.
Dalam silsilah dalang topeng tersebut, Carpan merupakan generasi ke-10. Mereka semua masih satu garis keturunan. Baik yang menyangkut hubungan keluarga sebagai ayah, paman, kakak, atau adik. Kakek, nenek, bahkan buyutnya merupakan dalang dan sekaligus pendiri Topeng Cibereng.
Dengan rinci Carpan menyebut urutannya sejak Konjab, Kandra, Dawang, Kojat, Wartani, Maryan, Bi Warsih, Sawen, dan Noor.
Sebagai warisan leluhur, Topeng Cibereng bukan hanya merupakan kelompok kesenian semata. Kesenian topeng memiliki makna spiritual sehingga pelakunya harus menjalani ”laku” yang disyaratkan. Hingga kini, Carpan masih menjalani puasa selama seminggu dalam sebulan, hanya dengan makan nasi putih dan air putih.
Ia juga menempatkan benda-benda keseniannya di tempat yang terhormat. Di antara beberapa jenis topeng yang digunakan, dua di antaranya—topeng panji dan topeng tumenggung—menempati urutan paling tinggi karena merupakan warisan leluhurnya. Kedua topeng itu merupakan topeng pusaka sehingga tidak bisa digunakan oleh sembarang orang.
Sekalipun masih berada dalam satu rumpun kesenian golongan tari topeng, Topeng Cibereng memiliki perbedaan mendasar yang tidak akan dijumpai dalam tari topeng dari daerah lain di Indramayu ataupun Cirebon. Perbedaan tersebut dijumpai dalam salah satu atraksi dari pagelaran tarian ini, yakni gerakan tarinya terlihat bervariasi.
Kelebihannya yang lain terletak pada gerakan mundur yang tak cuma lurus, tetapi juga bisa miring ke sana-ke mari. Oleh karena itu, di masa mudanya ia selalu bisa menjatuhkan lawan di panggung kalau menari kupu tarung.
Selain keahlian mundur dengan gerakan miring, hentakan kaki dan kuda-kuda, ia dikenal sangat kuat menjenjak ke tanah. Oleh karena itu, sampai masa tuanya belum ada yang mampu menjatuhkan saat menari kupu tarung.
Gaya tari Topengnya, seperti dikatakan budayawan Indramayu Nurochman Sudibyo, berbeda dengan Rasinah, Wangi Indriya, Sawitri maupun Sujana Arja. Menurutnya, tari topeng Carpan sangat ’ideologis’. Cenderung sebagai tarian ritual daripada tari topeng umumnya, yang lebih bersifat menghibur. Tari topengnya lebih murni, bebas dari pengaruh tayub dan jaipongan.
Menjadi Penari Topeng
Topeng Warisan Leluhur Mama Carpan. Foto/Ferdi Topeng |
Sebagai warisan leluhur, Topeng Cibereng bukan hanya merupakan kelompok kesenian semata. Kesenian topeng memiliki makna spiritual sehingga pelakunya harus menjalani ”laku” yang disyaratkan. Hingga kini, Carpan masih menjalani puasa selama seminggu dalam sebulan, hanya dengan makan nasi putih dan air putih.
Ia juga menempatkan benda-benda keseniannya di tempat yang terhormat. Di antara beberapa jenis topeng yang digunakan, dua di antaranya—topeng panji dan topeng tumenggung—menempati urutan paling tinggi karena merupakan warisan leluhurnya. Kedua topeng itu merupakan topeng pusaka sehingga tidak bisa digunakan oleh sembarang orang.
Sekalipun masih berada dalam satu rumpun kesenian golongan tari topeng, Topeng Cibereng memiliki perbedaan mendasar yang tidak akan dijumpai dalam tari topeng dari daerah lain di Indramayu ataupun Cirebon. Perbedaan tersebut dijumpai dalam salah satu atraksi dari pagelaran tarian ini, yakni gerakan tarinya terlihat bervariasi.
Kelebihannya yang lain terletak pada gerakan mundur yang tak cuma lurus, tetapi juga bisa miring ke sana-ke mari. Oleh karena itu, di masa mudanya ia selalu bisa menjatuhkan lawan di panggung kalau menari kupu tarung.
Selain keahlian mundur dengan gerakan miring, hentakan kaki dan kuda-kuda, ia dikenal sangat kuat menjenjak ke tanah. Oleh karena itu, sampai masa tuanya belum ada yang mampu menjatuhkan saat menari kupu tarung.
Gaya tari Topengnya, seperti dikatakan budayawan Indramayu Nurochman Sudibyo, berbeda dengan Rasinah, Wangi Indriya, Sawitri maupun Sujana Arja. Menurutnya, tari topeng Carpan sangat ’ideologis’. Cenderung sebagai tarian ritual daripada tari topeng umumnya, yang lebih bersifat menghibur. Tari topengnya lebih murni, bebas dari pengaruh tayub dan jaipongan.
Menjadi Penari Topeng
Dalang topeng merupakan tokoh utama dari kelompok kesenian yang dipimpinnya. Ia bukan hanya piawai di bidangnya sehingga disegani awak kesenian yang dipimpinnya. Pergulatan Carpan di atas panggung dengan topeng cibereng hampir menyita sepanjang usianya.
Anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah belajar menari topeng sejak umur 9 tahun. Mula-mula ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak pulang ke rumah.
Ia menjadi dalang topeng setelah Kojat, pamannya, meninggal dunia. Namun, ia tampil tidak sendiri melainkan bersama Sawen, adik kandungnya. Kakak-beradik yang tergabung dalam dalang Topeng Ciberem ’Sekar Muda’ ini sempat menikmati masa jaya pada era sebelum tahun 1990-an.
Dalam setiap pementasannya bersama Sawen, ia kerap membawakan beberapa gaya tarian diantaranya Panji, tarian Diam, Samba Putih, Samba Merah, Tumenggung, maupun Kelana.
Akan tetapi, sejak tahun 1993 kesempatan manggung-nya terus berkurang. Seperti dialami kesenian, satu per satu penduduk yang biasa menyelenggarakan pagelaran topeng di pesta atau hajatan mulai beralih ke organ tunggal. Organ tunggal dianggap memenuhi tuntutan hiburan masa kini, terutama kalangan muda. Topeng dan kesenian tradisional lainnya pun makin terpinggirkan.
Meskipun berkurang order panggungan dari masyarakat, Mama Carpan pernah juga pentas keliling kota-kota di Indonesia. Seperti di Bali, Bandung dan Jakarta pada tahun 1990-an.
Dedikasinya pada dunia tari topeng berbuah berbagai penghargaan, baik dari Bupati Indramayu dan Gubernur Jawa Barat, sebagai Mestro Penari Topeng Laki-laki.
Setelah kepergiannya pada akhir tahun 2012, tepatnya tanggal 7 Desember. Satu-satunya lahan yang masih tersisa untuk pagelaran Topeng Cibereng hanyalah pada saat ”Ngarot”, yakni upacara menyambut masa turun ke sawah yang rutin dilakukan setahun sekali di Desa Lelea. Lelea yang terletak di Kecamatan Cikedung merupakan tetangga Desa Cibereng, Kecamatan Trisi.
Untungnya, Mama Carpan sudah melakukan regenerasi gaya topeng Cibereng. Sekarang tari tersebut diwariskan kepada anak, cucu, bahkan cicitnya. Sebagaimana yang biasa dilakukan maestro seni lainnya, melakukan tradisi regenerasi.
***
Sumber:
Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010
Wawancara dengan Ki Tapa Kelana (Nurrochman Sudibyo)
Via
Tokoh
Posting Komentar