![]() |
Jago Menawar. Kartun Belanda 1948. Sumber : Gustaaf Kusno |
Oleh : Iwan Waenk Firmansyah
Dalam
update statusnya Meneer Panqi menyuguhkan photo tampak depan gedung DKI dengan
judul “Seniman Indramayu yang Bergengsi”.
Dikolom
komentar ada yang nyeletuk, “kaya Kamajaya bae, bergengsi apane kunuh, egeg
gayane bae la...bla...bla....”.
Terlepas
siapa yang berkomentar pada dasarnya komentar tersebut menurut saya ada
benarnya. Tapi setelah saya buka blog yang bersangkutan dan cermati secara
seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Tampaknya
ungkapan itu semacam sindiran dan bentuk kekesalan sang Meneer pada salah satu
oknum komunitas Panti Budaya. Seperti yang ditulis Meneer dalam blognya, Meneer
telah mengalami pengalaman 'spritual' di Panti Budaya.
Bahwasanya
walau terlihat eksklusif ternyata Dewan Kesenian Indramayu berisi
komunitas-komunitas yang penuh kesederhanaan. Dimana komunitasnya dengan penuh
semangat berjuang menyiasati kebutuhan hidup dengan bermacam-macam jalan peng-uripan.
Ada
yang menggelar les seni, ada yang berbudidaya bonsai dan ada pula yang
berdagang. Namun ada salah satu yang tampaknya tak mau berjuang, cuma berpangku
tangan dengan keseharian cukup genjrang-genjreng. Ketika perutnya lapar
dia hanya mengharap belas kasihan.
Menurut
Meneer Panqi orang ini mengaku seniman musik, sudah banyak menggubah lagu tapi
tak ada satupun yang laku. Ketika disarankan oleh sang Meneer untuk
menyingsingkan lengan baju, bekerja agar tetap survive, sang tokoh malah
marah-marah sambil menggebrak meja.
Sang
tokoh tidak terima ketika Meneer Panqi menyarankan untuk berusaha mencari
nafkah jadi satpam, tukang ojeg atau jadi tukang runtukan.
Katanya
gengsi, apa kata keluarganya nanti. Biarlah dia konsisten dengan kesenimananya
dan rela mati jadi seniman yang punya prinsip dan berdedikasi pada bidang seni
yang dipilihnya.
Wow...
sungguh fantastis. Sosok seniman idealis, lis ... lis ... liss. Meneer sungguh
prihatin melihatnya apalagi konon katanya dia punya anak dua, mau dibawa
kemana?
Hanya menuruti kata gengsi sampai melupakan anak isteri. Padahal
menyandarkan hidup dari belas kasih itu justru menjatuhkan gengsi, bukan begitu?
Setahu
saya, tak ada orang semacam itu di Panti Budaya. Apakah itu sekedar tokoh
imajinatif dari Meneer Panqi. Atau memang ada, kalau ada berarti mata saya
sudah kabur. Maklum sudah berumur.
***
Posting Komentar
Posting Komentar