Opini
Darurat Literasi
Ilustarasi Darurat Literasi. Sumber : tribunnews.com |
Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian.
Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar,
rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku,
Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku,
sedangkan Indonesia 0 buku. Ini tentu memperhatinkan.
Menurut UNESCO, minat baca orang Indonesia
itu 0,001. Ini artinya dari 1000 orang Indonesia yang suka baca hanya 1. Itu
untuk bahan bacaan cetak. Tapi, hal menggembirakan sebaliknya. Untuk urusan
baca bahan bacaan online Indonesia juara dunia. Urutan keenam dibawah China,
Amerika, India, Brasil, dan Jepang.
Penelitian di bidang literasi oleh
Universitas Negeri Connecticut, Amerika. Menempatkan Indonesia berada pada
posisi 60 dari 61 negara yang diteliti. Hanya diatas dari dari Botswana, sebuah
negara miskin di Afrika. Mau marah mau terkejut, gimana lagi? Faktanya begitu.
Menjadi kegelisahanku, saat kondisi ini ada
di masyarakat. Terutama tentang kesadaran arti penting budaya literasi. Ada
anggapan bahwa membaca itu hanya menghabiskan waktu dan uang. Membaca tak
mendatangkan manfaat dan keuntungan. Lebih baik bekerja, jelas mendapatkan
uang.
Bahkan kegelisahanku menjadi-jadi saat
anggapan ini menimpa juga pada kalangan terpelajar, yakni pelajar dan
mahasiswa. Mereka membaca hanya saat menjelang ujian. Hal itu dilakukan guna
mendapatkan nilai baik. Sebagian kaum terpelajar ini tak mau membaca untuk
kepentingan lain. Prihatin betul melihat fenomena ini.
Keadaan seperti itu diperparah juga oleh
mahalnya buku dan minimnya perpustakaan. Harga mahal membuat buku tak bisa
dibeli semua orang. Diperparah juga oleh anggapan, membeli buku bukan
kebutuhan. Gimana mau beli buku, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja
masih keterek-terek. Endas dadi sikil, sikil dadi endas, awan
bengi mekaya, badan remek sampe kaniyaya.
Selain mahal buku, juga minim perpustakaan.
Saban kecamatan dan desa kebanyakan nggak punya perpus, untuk ke perpustakaan
kabupaten kejauhan, berada di kota. Jika ada, tata kelolanya amburadul, koleksi
bukunya terbatas. Mengakibatkan pengunjung jadi bosan, koleksinya itu-itu saja.
Penghargaan pada karya tulis juga sangat
minim. Aktivitas menulis menjadi profesi nomer dua, nggak dapat apa-apa selain
buang waktu dan energi. Apa yang diperoleh tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan.
Gitu emang gambaran dunia tulis menulis di negeri ini.
Bangsa ini belum menghargai sepenuhnya karya
tulis. Tak heran nggak ada kebanggan menjadi penulis, makanya sedikit sekali
yang ingin jadi penulis, kecuali hanya mereka yang edan, idealisme tinggi.
Seperti apa yang dikatakan Imam Ali, musuhku
adalah kebodohan dan kemiskinan. Jika keduanya susah dihilangkan, salah-satunya
dipikirkan, dijadikan perhatian utama. Jika susah menyejahterakan rakyat,
setidaknya buatlah rakyat cerdas. Belajar dari negara maju mengapa malu?
Di negara maju, subsidi buku diberlakukan.
Setiap pembelian buku ada subsidi dari pemerintah. Jika perlu sering-seringlah
membagikan buku gratis kepada rakyat. Ini memang mimpi di siang bolong, sesuatu
yang mustahil. Tapi, jika semua pihak bersatu memikirkan, bukan sesuatu yang
susah untuk diwujudkan.
Perpustakaan daerah belum dioptimalkan, aku
berharap perpustakaan daerah menjadi lokomotif gerakan literasi. Seperti apa
yang telah dilakukan Mas Fathul Ilmi Nugraha dengan pelibatan masyarakat di
perpusda perlu ditingkatkan intensitasnya. Hadiah satu buku untuk satu resensi
bisa dilakukan tahun 2017, setuju sekali. Jangan lima buku mas, kebanyakan,
hhhe.
Supaya stok buku bertambah, mengapa nggak
dilakukan kegiatan penulisan dan penelitian buku. Terutama untuk center of exellence yakni nilai-nilai
kearifan lokal, bingkai keindramayuan dituliskan. Nggak harus buku, arsip video
dan photo juga penting. Ketiganya sama penting.
Bagaimana tabir peradaban kota Indramayu bisa
didokumentasi dan diarsipkan. Agar anak cucu kita bisa melihat dengan jelas,
bahwa kita hari ini sedang memperjuangkan Indramayu yang manusiawi dan
berbudaya.
***
Meneer Panqi
Pegiat Literasi
Via
Opini
Posting Komentar