Awalnya, aku
nggak terlalu tertarik untuk membahas soal kasus Ahok dan al-Maidah. Namun,
beberapa hari ke belakang nama kampusku disebut-sebut, UNJ – Universitas Negeri
Jakarta. Pak Krisanjaya, ahli bahasa UNJ dihadirkan sebagai saksi ahli dari
Polda Metro Jaya dalam pra peradilan Buni Yani di Pengadilan Negeri Jakarta.
Pendapat Pak
Krisanjaya, menyatakan bahwa kalimat pada caption
yang ditulis Buni Yani saat mengunggah video Ahok di Facebook bisa dimaknakan
lain bila penulisannya tidak utuh. Argumentasinya diperkuat dengan mencontohkan
penggunaan kata 'pakai' dalam dua
kalimat yang berbeda.
Ia contohkan
dengan kalimat 'kamu dibohongi pakai
iklan', di mana makna iklan menjadi alat untuk membohongi seseorang, dan 'kamu dibohongi iklan' di mana, makna
kalimat kedua berarti iklan sebagai subjek yang berbohong. Secara bahasa, locus penyampaiannya lengkap, ada video
dan tulisan. Tapi untuk tafsir maknanya berbeda-beda. Intinya, perubahan kata
itu sangat vital hingga pemaknaan berubah.
Mendadak
setelah Pidato Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu, kita jadi
lebih menyukai Bahasa Indonesia. Diskusi-diskusi bahasa pun ramai diperbincangkan.
Kita tiba-tiba tertarik dengan diksi, sintaksis, dan semantik.
Topik yang
dibahas adalah frasa ‘dibohongi pake
al-Maidah 51’ tidak sama dengan ‘dibohongi
al-Maidah 51’. Bahasawan dan pemerhati bahasa sudah pasti memaklumi bahwa
frasa ini adalah bentuk dari kalimat pasif ditandai dengan penggunaan awalan ‘di’ pada kata kerja.
Kemudian,
ada yang mempertanyakan dengan mengajukan analogi bentuk kalimat pasif juga. Misalnya,
‘dipukul pakai kayu’ dan ‘dipukul kayu’. Apakah maknanya berbeda?
Kita pun menjadi bingung dengan argumentasi yang sama-sama masuk akal ini.
Sebenarnya
jika bicara kaidah bahasa, hal yang dibahas ini terkait persoalan kata depan.
Bahasa Indonesia mengenal beberapa kata depan misalnya di, pada, oleh, dengan
dan lain sebagainya. Dari kata depan yang disebutkan, ada kata khusus yang bisa
digunakan dan tidak digunakan, yaitu kata depan ‘oleh’.
Kalimat ‘aku
dipukul oleh ayah’ bisa juga dikatakan ‘aku dipukul ayah’. Kata depan ‘oleh’
bisa dicantumkan bisa tidak. Begitu juga dalam frasa ‘dibohongi al-Maidah 51’,
ada kata depan oleh yang tidak dicantumkan. Singkatnya, demikian jelas bahwa ‘dibohongi
pakai al-Maidah 51’ tidak sama maknanya dengan ‘dibohongi oleh al-Maidah 51’.
Lalu,
bagaimana penjelasan ‘dipukul pakai kayu’ dan ‘dipukul kayu’? Membahas analogi
ini, tetap sama topik yang dibahas adalah soal kata depan. Frasa ini sebenarnya
penyingkatan dari frasa ‘dipukul dengan kayu’. Bukankah keduanya sama makna? Bolehkah
kata depan 'dengan' dihilangkan seperti halnya pada kata depan 'oleh' seperti
yang sudah dijelaskan di atas?
Sesungguhnya,
menurut kaidah Bahasa Indonesia yang benar, kata depan 'dengan' ini tidak boleh
dihilangkan. Ini adalah pengaruh dari bahasa daerah (khususnya Basa Sunda dan
Basa Jawa) yang masuk dalam wacana Bahasa Indonesia, sehingga akhirnya
penghilangan kata depan 'dengan' pada kalimat pasif ini dianggap benar.
Dihadapkan
pada kemungkinan dua kata depan yang dihilangkan pada sebentuk kalimat pasif
ini memang membuat sebagian orang menjadi bingung, mana yang akan dianggap
benar. Apakah kata depan 'oleh' (yang direstui oleh kaidah bahasa Indonesia)
atau kata depan 'dengan' (yang tidak direstui oleh kaidah Bahasa Indonesia)?
Bilamana
kita berpegang teguh pada kaidah Bahasa Indonesia di atas, sesungguhnya tidak
ada keraguan bahwa yang akan dianut adalah kata depan 'oleh'. Kalau pada bentuk
kalimat pasif penghilangan kata depan 'dengan' ini masih 'ditolerir'.
Namun, jika pada
kalimat aktif terlihat dengan sangat gamblang bahwa kata depan 'dengan' ini
tidak boleh dan tidak mungkin dihilangkan. 'Makan
pakai tangan' atau ‘makan dengan
tangan’ tidak mungkin disingkat menjadi 'makan
tangan', karena maknanya menjadi sangat berbeda.
Simpulannya,
polemik antara dua kubu yang mempertentangkan kesamaan arti pada frasa kalimat
pasif dengan kata 'pakai' atau tanpa kata 'pakai' sudah dapat diklarifikasikan.
Manakala ada penghilangan kata depan pada sebuah kalimat pasif, sudah dapat
dipastikan kata depan yang dihilangkan tersebut adalah 'oleh'.
Penjelasan
di atas adalah penjelasan dengan pendekatan tata bahasa. Bukan pendekatan
melalui tafsir agama maupun kepentingan politik. Pendekatan agama sudah
diwakili dengan pernyataan fatwa MUI. Sedangkan pendekatan dengan politik
banyak yang sudah menulis.
Mudah-mudahan
tulisan kecil ini bisa memberikan ruang perenungan untuk anak bangsa setanah
air sesuai dengan konteksnya. Jika tulisan ini dianggap bias dan memihak, aku
mohon maaf. Karena manusia itu diciptakan dengan segala kelemahan.
***
Meneer Panqi, Pegiat Literasi.
Posting Komentar
Posting Komentar