Meneer Panqi
lahir di sebuah desa di Indramayu. Sewaktu masih kecil semuanya mudah, indah,
dan menyenangkan. Namun, saat adanya TV semuanya berubah. Banyak perubahan yang
terjadi di desaku. Orang-orangpun semuanya pergi meninggalkan desa.
Mereka
merantau ke luar negeri dan kota besar. Orangtua-ku mengatakan keluarga kita
miskin, kamu harus seperti si a, si b, dan si c. Mereka pulang dari luar
negeri. Sekarang bisa membeli sawah, membangun rumah, dan membeli
kendaraan--mobil dan motor. Hidupnya sudah sejahtera.
![]() |
Hasil kerajinan penduduk Desa Gadingan. Photo by Burhanuddin, 2016. |
Aku mulai
berpikir, aku juga harus merantau supaya seperti mereka. Lalu, aku pergi ke
Jakarta. Kota Internasional. Di Jakarta aku belajar dan bekerja keras seperti
orang-orang. Aku bekerja minimal 8 jam setiap hari sambil kuliah. Aku tinggal
di ruangan yang sempit, nge-kost bersama temen-temen yang lain. Tazkia Tanaya,
Apri Sidik Pratama, Wonkque Benq, Ahmad Surur, Rullyan Noviawan, mereka
sahabatku.
Kerja
kerasku hanya bisa memenuhi makan seadanya. Rutinitasku yang membosankan
seperti sebuah robot, membuatku berpikir lama. Merenung. Biasanya tempat
favorit merenungku adalah naik ke atas genting malam hari, saat temanku tidur
aku naik kesana. Belakangan mereka pun mengikut, mengetahui aku nggak ada di
kamar.
Sejak
merenung diatas genting, aku mulai ragu apakah ilmu yang kupelajari di kampus
bermanfaat atau tidak? Aku sering bertanya dalam diri. Kerja keras, banting
tulang, tapi mengapa hidupku masih terasa sulit? Pasti ada yang salah. Aku
mulai mengingat masa kecilku.
Di desaku tidak ada orang yang bekerja selama 8
jam sehari. Bapakku yang penjual menir (beras remuk) hanya bekerja 4 jam
sehari. 1 jam untuk mengemas dan 3 jam untuk menjual.
Semua orang
desa kebanyakan petani, termasuk juga bapak-ku. Kami bekerja hanya 4 bulan
dalam setahun. Waktu selama empat bulan juga tidak full time. Kami masih bisa
melakukan hal lainnya. 4 bulan itu digunakan untuk pembibitan, penanaman,
pemupukan, dan pasca panen.
Dalam
setahun itu bisa dua kali musim, sadon dan rendeng. Kami kerja 8 bulan setahun.
Waktu efektifnya mungkin hanya sekitar 2 bulan. Selebihnya 10 bulan itu kami
bebas. Maka, jangan heran jika dulu banyak orang kreatif di desa. Waktu luang
itu digunakan untuk membuat kebutuhan rumah tangga. Ada yang membuat bata,
tikar, anyaman, dan lainnya.
Jangan heran
akibat waktu luang yang banyak penduduk desa akhirnya suka berkumpul,
silaturahmi, dan berembug. Itulah mengapa di desa-desa banyak karnaval dan
festival-festival. Ada mapag sri, mapag tamba, sedekah bumi, ngarot, nadran,
unjungan, dan lainnya. Waktu mereka banyak. Tidak sepertiku yang ada di
Jakarta. Semuanya sendiri-sendiri, individualis. Kita sangat susah untuk
berkumpul.
Beberapa
kali merenung, 5 tahun di Jakarta akhirnya kuputuskan untuk pulang kampung
saja. Berhenti kuliah dan kerja. Di desa aku mulai hidup seperti ingatan masa
kecilku. Menjadi petani dan membuka warnet. Penghasilan dari warnet kugunakan
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sebelum hasil bertani panen.
Dari hasil
panen sebanyak 8 ton setahun, hanya habis 5 kwintal dalam setahun untuk
memenuhi kebutuhan 7 orang anggota keluarga. Hasil praktek hidup seperti ini
membuat hidupku lebih mudah, tidak sulit seperti di Jakarta. Karena sisa hasil
panen yang surplus aku jual.
Di Jakarta
aku tinggal di ruang yang sempit. Itu juga harus sewa. Di desa aku tinggal di
dalam sebuah rumah, bukan kamar. Meski tak sebagus di Jakarta tempat tinggalku.
Aku lebih nyaman, ruang privasiku tidak disabotase. Tidak ada iuran sampah,
iuran keamanan, bayar ledeng dan lainnya. Semua gratis. Mudah sekali hidup di
desa.
Beda dengan
temanku yang di Jakarta, dia pintar dan punya pekerjaan bagus di sana. Namun,
ia harus sewa kontrakan atau angsuran rumah untuk tempat tinggalnya. Untuk
sebuah rumah ia harus mengangsur selama 30 tahun. Kupikir susah sekali ya?
Sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa papan.
Dulu,
sewaktu di Jakarta aku selalu digoda soal fashion. Saban ke mall, keinginan
untuk mengikuti trend fashion selalu membuncah. Semacam ada gengsi dan malu di
dada saat aku tak bisa mengikuti trend. Menyiksaku. Namun, di desa keinginan
itu pupus. Lingkungan sekitarku berupa hamparan sawah. Percuma saja, pakaian
bagus toh ujung-ujungnya untuk pergi ke sawah. Jadi, keinginan itu hilang
dengan sendirinya.
Aku mulai
merasa hidupku lebih bebas, lebih ringan dan ketakutan berkurang. Berbanding
terbalik dengan sebelumnya yang tidak pernah merasa demikian. Ketika di Jakarta
aku merasa hidup itu sangat sulit. Berbeda dengan sekarang saat aku tinggal di
kampung halamanku.
Saat aku
mulai berhenti dari kehidupan yang serba sulit & serba rumit. Aku memilih
jalan hidup yang mudah dengan menghasilkan makanan sendiri, tingal di rumah
sendiri, nggak mengikut trend fashion. Aku dianggap oleh sebagian orang,
pikiranku nggak maju. Tidak mengikuti arus.
Aku nggak
peduli mereka ngomong apa? Aku tidak peduli, karena aku tidak bisa
mengendalikan pikiran-pikiran diluar diriku. Yang kulakukan hanya memanajemen
pikiranku saja. Semua memiliki kebebasan untuk memilih. Pilihan untuk hidup
sulit, atau pilihan untuk hidup gampang. Tergantung pada kita, mau memilih cara
hidup yang mana?
***
Posting Komentar
Posting Komentar