Pertunjukan macapat adalah peristiwa komunal, berifat sosial atau kekeluargaan yang khas
dalam sistem kehidupan pedesaan, terutama di masyarakat petani; dan biasanya
diselenggarakan di dalam rumah, berupa kenduri kecil, bukan pesta besar dengan
panggung yang dibuat khusus, untuk syukuran panen, khitanan, kelahiran bayi,
dan sebagainya.
Pemangku hajat
mengundang para bujangga (pembaca macapat) secara kekeluargaan, yang umumnya para
tetangga-kerabat sekampung. Namun demikian, karena teknik suara yang khusus
itu, tak banyak orang yang bisa menyanyikannya. Di suatu kampung biasanya hanya
terdapat beberapa orang saja yang dianggap baik menyanyi kidung.
Karena itu,
untuk suatu pertunjukan seni bujangga, bisa merupakan kumpulan penyanyi dari
beberapa desa bertetangga. Tapi, mereka tidak terbentuk dalam satu grup
kesenian formal.
Pada jaman
dulu, sampai tahun 1960an atau bahkan sampai sekarang untuk desa-desa
terpencil, di suatu kampung itu hanya terdapat beberapa orang saja yang bisa
membaca, baik huruf Jawa, Latin, ataupun Arab-pegon. Adapun penyanyinya bisa 3,
4, 5 orang, atau lebih. Jumlahnya tidak dibatasi, tergantung pada besar-kecilnya
hajatan atau pada ketersediaan orang yang bisa.
Bujangga
adalah seniman yang berdasar pada sastra tulis, wewacan. Namun, dalam praktik
pertunjukannya, unsur kelisanan sangatlah besar. Wilayah untuk improvisasi
sangat lebar, dan kidung-kidung bujangga tidak memiliki notasi, sampai
sekarang.
Di sana-sini
juga terdapat senggak, yaitu nyanyian selingan atau yang mengimbuhi lagu pokok
misalnya dengan wangsalan/pantun dalam basa dermayonan juga walili hu aing dan lailahaillah. Para penonton bisa turut menyanyi atau meramaikan
dengan tepukan tangan berirama.
Berikut ini contoh macapat/bujangga.
Posting Komentar
Posting Komentar