Jumlah
TKI/TKW di Tugu & Tugu Kidul sekitar 1.300 orang (BPS Sliyeg, 2015). Jika
perbulan seorang TKW/TKI mengirim sejumlah Rp. 2.000.000 saja, berarti ada 2,6
milyar dana yang masuk ke Tugu tiap bulannya.
![]() |
Kemiskinan di desa. Sumber : Lintas Kebumen |
Itulah
jawaban dari pertanyaan mahasiswa KKN UNPAD 2015 yang menyatakan mengapa orang
di desa ini banyak pengangguran/pemales?
Menurut
Raksa Bumi H. Arnoto, penghasilan TKI/TKW ini setara dengan juragan yang
mempunyai sawah seluas 5-10 bau. Namun, perbedaan keduanya terletak pada
kemampuan membeli tanah sawah.
Para juragan
sawah sebagian besar tidak mampu membeli sawah dalam jangka lima tahun tutup
neraca bisnis. Namun, para TKW/TKI saat pulang, simpanan yang mereka tabung
mampu membeli sepetak tanah sawah.
Kepergian
para TKW/TKI telah mengurangi jumlah tenaga kerja yang ada di desa. Hal ini
menyebabkan masyarakat Tugu kewalahan mencari tenaga kerja dalam sektor
pertanian. Terutama saat musim tanam dan panen tiba.
Untungnya,
kekurangan tenaga kerja ini dibantu impor tenaga kerja tani dari desa sebelah,
seperti buruh tandur dan buruh derep.
Menurut Ust.
Wahid, pernah ada penelitian pada tahun 2002, bahwasanya jumlah TKI/TKW di Tugu
dan Tugu Kidul sekitar 700 orang. Hal ini cerminan petatah ‘kebo nyusu gudel’.
Jumlah
tersebut meski secara ekonomi bisa menaikkan daya beli, namun sisi lainnya
mengakibatkan anak-anak TKI/TKW ini kurang perhatian kasih sayang seorang ibu
dan atau ayah. Peran mendidik anak dialihkan kepada nenek-nenek anak tersebut.
Problem yang muncul kemudian, banyak anak-anak bandel dan nakal.
Sejak mulai
ramainya penduduk desa berprofesi sebagai TKI/TKW pada tahun 1990-an telah
banyak mengubah wajah visual desa. Dulu, rumah-rumah penduduk sangat jarang
yang menggunakan tembok bata, sebagian besar hanya pagar gribig—bambu.
Hal ini
telah mengangkat kelompok masyarakat bawah menjadi kelompok masyarakat
menengah. Istilah populernya, banyak gembel naik kelas.
Gembel yang
naik kelas ini ternyata tidak dibarengi dengan pemahaman melek finansial.
Akibatnya banyak TKW/TKI yang menghambur-hamburkan uangnya untuk hal-hal yang
tidak produktif.
Raksa Bumi
H, Arnoto menjelaskan, banyak TKW/TKI yang membeli barang branded seharga jutaan dan puluhan juta. Bisa-bisanya loh ya, masa
beli tas saja seharga 3 juta. Prihatin katanya.
Selanjutnya,
ada fenomena menarik di mana seorang suami yang ditinggal istrinya menjadi
TKI/TKW. Kok ada kebanggan ketika diundang atau disebut sebagai bos arab, bos
korea, bos taiwan atau lainnya.
Sebuah
kebanggan yang tidak pada tempatnya. Notabene suami adalah pencari nafkah dalam
tatanan budaya di desa. Hal ini menunjukan bahwa para suami melepas tanggung
jawabnnya sebagai seorang pria sejati.
***
Posting Komentar
Posting Komentar