Nah, di sinilah perlunya orang-orang yang
“masih waras” melakukan counter terhadap penyebaran kebohongan dan kebencian di
media sosial. Jangan biarkan negeri ini (melalui media sosial) dikuasai oleh
mereka yang hidupnya diliputi kebencian.
Ada dua hal yang bisa dilakukan :
1. Teliti dulu apakah berita itu ada di media
yang terverifikasi oleh dewan pers atau tidak. Jika ternyata media tersebut tak
ada di Dewan Pers, kalau bukan blog yang dikelola secara bertanggungjawab oleh
bloggernya, berarti itu media asal-asalan yang tak patut dipercaya. Sudah tentu
jika medianya saja tak dipercaya, isinya tak perlu kita baca, apalagi
disebarkan.
2. Jangan langsung bikin 'posting'-an, Ngukurnya
gampang bagi yang masih punya rasa malu. Boleh jadi saat menuliskannya kita tak
sadari itu bisa memalukan atau nggak. Ingatlah ketika kita mungkin pernah
membuat status di beberapa bulan atau tahun yang lalu, kalau kita baca kembali,
kadang kita merasa malu, kenapa bisa membuat status/gambar yang membuat kita
seperti orang bodoh dan keras kepala.
Ya, paling tidak rasa malu adalah cara paling
mudah agar kita dapat mikir sebelum melakukan sesuatu di media sosial. “Nyesel
itu belakangan, kalo duluan itu namanya DP.” Hahahhaha.
Pamungkas, mengapa ada 'hoax'? Ada beberapa
faktor yang bisa dijadikan argumen, salah satunya adalah meraup keuntungan dari
iklan.
Pembuat hoax ini pandai memanfaatkan momentum
atau isu yang sedang berkembang, lalu menggiring netizen ke portal berita yang
mereka buat. Dengan banyaknya netizen yang mengunjungi situsnya, tentu
memberikan keuntungan iklan yang mereka pasang di situs mereka.
Salah-satunya info dari Majalah Tempo ini.
Sebuah portal berita bisa meraup keuntungan hingga puluhan juta dalam sebulan.
Ya, aja kegila-gila bloone temen dibebodo.
***
Posting Komentar
Posting Komentar