Saya
gelisah, terus terang khawatir tentang masa depan Indonesia dengan melihat
suasana kehidupan politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan keamanan pada saat ini.
Walaupun tidak semuanya, namun tidak sedikit masyarakat menjauh dari
nilai-nilai agama, nilai-nilai etika sosial.
Salah
satunya adalah rasa kedisiplinan masyarakat dalam mengendarai kendaraan
bermotor. Setiap saya mengendarai motor ada saja hal-hal yang membuat kaget,
jantung kadang mau copot.
Apa
saja hal tersebut? Nyaris, beberapa kali dalam posisi kagok, saya dibentak
dan dimaki. Satu atau dua orang pengendara sepeda motor, benar-benar mengganggu
dalam perjalananan berkendara. Padahal, saya sudah mengerem dan sudah ngasih
kode sein dan kecepatan sepeda motor saya maksimal 60 km.
Dalam
posisi seperti itu masih saja menyalip, yang membuat posisi kagok. Mengapa
mereka hampir sebagian besar tidak melambatkan kendaraan. Mengapa mereka tak
memberi hak kemudahan orang mau belok atau menyeberang.
Saya
hanya "goyang kepala ngelus dada". Terlalu susah lah kalo harus
menghargai nyawa seseorang. Minimalnya mereka mengutamakan keselamatan dan
menghargai nyawanya sendiri. Kan jika terjadi tabrakan bukan saja tak
menghargai nyawa orang, nyawa sendiripun terancam.
Alangkah
parahnya, malah "sewot" dan memaki orang lain. Bukan tak berani
nge-ladeni, tapi malas saja meladeni orang yang "karwek"--karepe dewek. Kalo
diladeni apa bedanya saya dengan mereka. Kenyamanan dan keselamatan berlalu
lintas lebih penting daripada itu.
Bangsa
kita, dikenal berbudaya dan ramah-ramah orangnya, kok melihat fenomena ini
penilaian saya berubah. Bangsa ini beringas dan tak ramah lagi.
Selain
itu, ada juga kekhawatiran berupa demokrasi dan liberalisme yang dijalankan di
Indonesia. Pemerintah sudah memberikan hak demokrasi kepada masyarakat tetapi
pemerintah tidak menjaga nilai-nilai demokrasi yang ajeg, seolah-olah dibiarkan
bebas tanpa batas.
Sejatinya,
kebebasan tanpa batas adalah suatu pelanggaran hak asasi. Sebab, seseorang yang
telah melanggar hak orang lain tanpa ditindak berdasarkan hukum yang berlaku.
Itu bentuk pembiaran.
Lihat
saja, kehidupan ekonomi kita sangat "liberalistis" yang terciri dari
hukum "survival of the fittest" yakni, siapa yang kuat akan
memenangkan suatu persaingan.
Hal
demikian telah menghadapkan golongan-golongan etnis dan lokal dari pelbagai
kepercayaan agama dengan kekuatan yang berbeda (yang lemah dan yang kuat) untuk
dibiarkan bertarung dengan alasan demokrasi dan liberalisme.
Sistem
liberalisme menurut Ekonom Hariyono Soeparto belum dapat diterapkan di
Indonesia karena heterogenitas masyarakatnya berkadar kekuatan yang tidak
seimbang. Lihatlah
perbedaan mencolok antara yang kaya dan yang miskin dengan dipertontonkannya
secara terang-terangan kemewahan tempat tinggal, gaya hidup, kendaraan, sekolah
dan lebih banyak lagi.
Saya
khawatir akan terjadinya malapetaka yang lebih besar daripada revolusi sosial
yaitu potensi terjadinya perang saudara. Oleh karena itu, siapapun presiden
RI-nya harus berani menegakkan nilai-nilai Pancasila secara utuh, hidup
sederhana untuk semua lapisan masyarakat yang beruntung.
Jangan
ada pamer kekayaan dengan memberikan izin pembangunan apartemen, mall-mall,
kendaraan-kendaraan mewah. Kasihan, masyarakat kurang beruntung sudah lama
hidup susah.
Tidak
hanya hidup dalam kesusahan, malahan mereka hidup menderita. Kenaikan harga
BBM dan tarik subsidi listrik, lebih dikarenakan akibat inefisiensi pengelolaan
uang negara oleh pemerintah.
Saya
betul betul sedih dan khawatir akan suasana di Indonesia yang saya cintai ini.
Semoga Allah SWT memberikan kepada bangsa Indonesia "Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja". Amin!
***
[Foto/http://anthonydiomartin.blogspot.co.id]
Posting Komentar
Posting Komentar