Ayahku, hanya orang kampung. Mungkin bagi
sebagian besar orang-orang di kampung beliau ini nggak ada artinya sama sekali.
Tapi, bagiku beliau adalah guru dan ayahku. Beliaulah yang pertama mengajariku
banyak hal. Utamanya adalah sikap bagaimana menjadi seorang pria sejati?
Ayah ini nggak bisa mengaji, ayah juga nggak
jago nulis. Sekolahpun hanya sampe kelas empat SD. Boleh percaya boleh nggak.
Meski nggak bisa ngaji, saat bulan Ramadhan, puasa beliau nggak pernah batal.
Sholatnya juga selalu berjamaah di mushalla. Jauh berbeda denganku, puasaku
masih batal dan sholatku masih sering di qadha.
Aku sempat berpikir, mengapa dulu beliau
keras mendidikku saat aku tak berangkat ngaji? Aku sempat diceburkan ke sumur
gara-gara nggak mau ngaji. Sampai pernah aku 'dijalukkaken' sama orang pintar.
Aku dikasih segelas air. "Nginunga kien banyu obat" katanya memaksa.
Besoknya nggak tahu mengapa, aku jadi
semangat sekolah dan mengaji. Belakangan kuketahui air itu sengaja diminta dari
Ki Soleh, sesepuh dari Tajug, Sudimampir. Seorang alim yang dikenal jago sama
begituan. Do'a-do'anya sangat mustajab.
Belakangan kupahami, karena beliau nggak bisa
mengaji. Beliau ingin anak-anaknya jago ngaji. Beliau sedih, tidak bisa kirim
do'a untuk kakekku. Sebab beliau tak bisa mengaji.
"Bapa
ketuwon. Bli bisa kirim donga meng wongtua lanang".
Begitu juga dengan sekolah. Aku dari kecil
memang pemales. Apalagi kalo sekolah. Itu nge-betein banget. Harus pake
seragam, harus pake sepatu, bawa tas. Ribet banget. Aku lebih suka maen di
sawah, 'gogo iwak' di kali. Maen layangan, bikin senapan bambu, maen kelereng,
bikin ketapel atau berenang di sungai.
Biasanya maenan-maenan tersebut aku jual
berapa perak. Banyak temenku yang nggak bisa bikin. Duitku jadi banyak. Beda kalo
sekolah, uang sakunya sedikit. Melihat tingkahku seperti itu, ayahku tak
kehabisan akal.
Beliau selalu mengiming-imingi sesuatu. Kalo
aku rajin sekolah. Beliau akan membelikan mobil-mobilan remote. Kalo aku juara,
aku akan dibelikan sepeda. Kalo aku juara satu aku akan dibelikan meja belajar.
Kalo aku juara umum, minta apapun akan dituruti. Gila kan? Aku jadi antusias
dan semangat sekolah.
Sampai sekarang aku nggak habis pikir, beliau
dapat darimana itu idenya. Sebab, sewaktu aku kuliah, teknik ini namanya trial
and error, punish and reward dalam mata kuliah perencanaan pendidikan dan
filsafat pendidikan. Aneh kan! Beliau itu kan nggak pernah mengenyam bangku
kuliah.
**
Pernah suatu waktu beliau ikut dampingi aku,
saat register ulang di UNJ. Beliau saat itu pakai sepatu pantofel. Ayahku yang
penjual menir (beras remuk) dan petani totok kelihatan perlente. Aku bangga
melihatnya. Namun, kebanggaanku jadi berubah rasa iba.
Sepanjang jalan beliau terlihat tak nyaman.
Sebentar-sebentar pegang kakinya. Aku jadi kasihan.
"Nangapa,
pa?"
"Kien,
ledes sikile"
"Sabar
pa, dela maning gah wis teka ning kampus".
Setelah turun, Ayah mengikut di belakangku.
Aku yang bersemangat, jalan terus. Sampai lupa ayah masih dibelakang. Aku baru
sadar saat mau bayar registrasi. Uangnya kan ada sama ayah. Lantas, aku
mencarinya.
Lirik kanan-kiri, pandang depan belakang. Tak
berapa lama aku lihat ayah sedang duduk di bangku bawah pohon. Melihat mukanya
yang cengengesan karena malu. Aku lantas ngomong.
"Copoten
bae pa!"
"Iya,
aduh ledes jriji bapa"
Ayah lantas menjinjing sepatunya. Aku gandeng
ayah. Seluruh mahasiswa dan orang yang ada di hadapan kami semua memandang
aneh. Meski wajah mereka nyinyir, aku bangga menggapit ayahku. Orang yang
membesarkanku, orang yang mendidikku.
Malam semakin larut, kalo inget kenangan itu,
aku suka senyum sendiri. Mungkin sekarang ayah tidur, kecapean karena tadi
siang habis panen. Tapi, aku tak bisa memejamkan mata. Aku membayangkan saat
itu. Aku makin bangga sama beliau. Tak sengaja, aku melihat senyum dan
kebanggaannya.
Sejak itu beliau selalu bercerita sama teman
dan keluarga. Bahwa anaknya kuliah di Jakarta, di kampus negeri. Beliau bahagia
lahir dan batin, saat menceritakannya.
"Bapa
... reang bangga duwe bapa tukang menir".
***
Posting Komentar
Posting Komentar