biografi
[Bio] Mama Sugra - Dari Gitar Belanda yang Berdenting Terlahir Seni Tarling
![]() |
Patung Sugra di Gedung DKI Mama Sugra. Foto/Tarka |
Oleh : Supali Kasim
Sosok dan nama Sugra tidak begitu dikenal
banyak orang dalam blantika kesenian tarling. Ia nyaris tenggelam oleh
kebesaran nama-nama lain, seperti Jayana, Abdul Adjib, Sunarto Marta Atmaja,
Dadang Darniyah, Dariyah, hingga generasi penerusnya, seperti Udin Zhaen, Sadi
M., Ipang Supendi, ataupun Yoyo Suwaryo.
Sugra memang figur seniman tarling masa lalu.
Masa ketika panggung tarling hanyalah gelaran tikar di pekarangan rumah
diterangi lampu tempel atau petromaks. Masa ketika tarling meramaikan hiburan
warga yang tengah ‘ngobong bata’ (membakar batu-bata), ‘puputan umah’
(peresmian rumah baru), ataupun ‘kebo lairan’ (kerbau melahirkan). Masa ketika piringan
hitam, pita kaset atau rekaman lainnya adalah sesuatu yang tak terbayangkan.
Masa-masa yang sulit dan serba pas-pasan itu
terjadi sekitar dasawarsa 1930-an. Tapi, dari masa yang suram itulah justru
terlahir sebuah kesenian baru --yang di kemudian hari orang-orang menyebutnya
sebagai seni tarling.
Berawal dari kedatangan orang Belanda ke
rumah ayah Sugra yang bernama Pak Talam di Desa Kepandean, Kecamatan Indramayu,
Kabupaten Indramayu (sekarang menjadi Kelurahan Kepandean). Maksud ‘wong bule’
itu adalah minta tolong kepada Pak Talam supaya ‘memberesi’ gitarnya yang
rusak. Pak Talam selama ini memang dikenal sebagai orang yang menguasai laras
gamelan atau bunyi-bunyi nada.
Siapa sangka dari pertemuan itu menjadi suatu
fenomena. Orang Belanda itu sampai sekian hari belum juga mengambil gitarnya
yang sudah selesai diberesi. Sugra dan ayahnya seringkali memainkan gitar
dengan petikannya. Tentu saja petikan mereka berlaras gamelan. Menyesuaikan
diri dengan bunyi gamelan.
Ternyata, bunyi gamelan itu bisa beralih pada
petikan gitar. Terjadi suatu migrasi bunyi dari gamelan ke gitar. Seperti ada
suatu rangkuman tersendiri dari berbagai alat gamelan menjadi hanya satu alat,
yaitu petikan gitar. Sugra akhirnya piawai memainkan petikan gitar tersebut.
Mengalunlah lagu-lagu klasik bernada kiser, seperti Dermayonan, Cirebonan,
Keranginan, Rénggong (dulu namanya Kiser Gedhé), dsb.
Pada dekade tersebut anak-anak muda mulai
‘kesengsem’ pada gitar dengan petikan laras klasik daerah. Bahkan mereka pun
menambahinya dengan alunan suara suling bambu. Menurut Sugra, pada sekitar
tahun 1935 kawan-kawannya berinisiatif menambahi bunyi-bunyian dengan ‘kotak
sabun’ yang berfungsi sebagai kendang, serta kendi sebagai gong. Pada tahun
1936 ditambah ‘baskom’ dan ketipung kecil untuk melengkapi bunyi perkusi.
Kesenian tanpa nama itu akhirnya bernama
juga. Awalnya ada yang menyebut sebagai “seni melodi”. Di kemudian hari lebih
populer sebagai “tarling”, karena bertumpu pada dua alat musik utama yakni
gitar dan suling. Ada pula yang menafsirkan sebagai “yén wis mlatar kudu éling”
(jika sudah berbuat negatif harus insyaf).
**
Rombongan seni tarling Sugra mulai terbentuk.
Dari mana ia mendapatkan gitar? Menurut Sugra, selama dua tahun ia mengumpulkan
uang dengan bekerja, hanya untuk mendapatkan sebuah gitar. Warga seringkali
mengundang kelompok tersebut untuk hiburan menemani ‘ngobong bata’, ‘puputan
umah’, ataupun ‘kebo lairan’. Beranjak pula untuk acara khitanan.
“Bayaran
duwit durung ana. Sing ana iku panganan. Baliké digawani brongkosan,” tutur
Sugra, yang maksudnya honor uang belum ada. Yang ada mendapatkan suguhan
makanan. Pulangnya diberi bungkusan makanan.
Seringnya acara yang digelar seperti itu
membuat warga mulai menyukai kesenian yang dibawakan Sugra dan kawan-kawannya.
Honorarium pertama ia terima pada tahun 1936, yakni berasal dari Babah Pranti
(seorang WNI Keturunan Cina), yang juga pemilik Toko Pranti di Jl. Ahmad Yani
Kota Indramayu (sekarang toko itu tak ada lagi). Usai bermain semalam, ia
diberi uang sebesar seringgit.
Orang-orang kemudian menyukai tarling. Banyak
warga yang kemudian membuat gitar sendiri. Bukan hanya orang Jawa (pribumi),
tetapi juga orang Cina (WNI Keturunan) mulai demam tarling. Tukang kayu, tukang
kemasan, hingga tukang kaleng pun membuat gitar. “Sampé-sampé tukang kaléng gawé
itar sing séng, waktu ditabuh muniné... sémbér!“ ujar Sugra mengenang.
Dari hari ke hari kesenian tarling makin
digemari warga. Tawaran manggung pun mengalir mengisi acara hajatan. Sampai
pada suatu hari datang seorang pemain baru yang juga minta bergabung. Namanya
Tuleg. Keikutsertaan Tuleg membuat tarling pimpinan Sugra makin terkenal.
Bahkan rombongan itu juga kemudian terkenal dengan nama "Tarling
Tuleg".
Ketenaran mereka bukan hanya di wilayah
Kabupaten Indramayu, tapi juga hingga ke wilayah tetangga, seperti Kabupaten
Cirebon. Pernah pula mereka diminta main di Cirebon, di rumah Juaragan Jana
pada tahun 1938. Sugra kaget ketika para pemuda setempat melarang menggunakan
kendang. Alasannya, alat musik kendang itu dianggap kampungan jika digabung dengan
gitar. Seharusnya menggunakan celo (contra-bass). Tetapi rombongan Sugra tetap
memainkan kendang.
Sugra berpikir keras, ketika Tuleg mulai
"berulah" dengan seringkali membolos. Tuleg hanya bertahan dua tahun
di rombongan tarling Sugra, yakni antara tahun 1938-1940. Tiadanya Tuleg, yang
kemudian bergabung dengan rombongan tarling lain pimpinan Pak Muksan di
Jatibarang, benar-benar membuat Sugra berpikir keras. Bagaimana tetap eksis
tanpa kehadiran Tuleg. Ia sempat bingung, namun inspirasi kemudian muncul.
Kenapa pergelaran tidak dilengkapi dengan drama, pikirnya.
Inspirasi itulah yang kemudian ia terapkan.
Lahirlah lakon-lakon yang kemudian menjadi lakon legendaris, seperti lakon
“Saida-Saéni”, “Pegat-Balén”, dan “Lair-Batin”. Seringkali jika grup tarlingnya
manggung, lakon “Saida- Saéni” digelar hingga pukul 03.00 dini hari. Skenario
lakon yang berakhir tragis itu membuat penonton terharu dan menguras airmata.
Akan tetapi perjalanan tarling Sugra terasa
seeprti di-“rem” mendadak. Sekitar tahun 1942 ia menjalani semacam "wajib
militer” yang diberlakukan pemerintah penjajah Jepang. Ia harus memasuki
pasukan Keibodan. Mereka yang menolak, akan dibawa oleh Kenpetai untuk
menjalani hukuman "karier".
Sugra sebagai pemain tarling kembali
menggeliat mulai 1947 dengan rombongannya yang diberi nama "Tarling Kota
Ayu". Namun dalam kurun waktu tersebut lebih banyak mengisi acara
partai-partai politik secara cuma-cuma. Meski demikian Sugra merasa berterima
kasih, karena banyak orang menyenangi tarling.
Sugra sempat pula membentuk grup sandiwara
pada tahun 1949 dengan delapan pemain perempuan. Alasannya grup-grup tarling
makin bermunculan yang mengakibatkan grupnya mulai tak laku. Namun demikian
tarling tetap lekat pada kehidupannya, hingga pada suatu hari secara tak
sengaja tembang dan petikan gitar Sugra direkam oleh seseorang yang bernama
Gunawan, yang berasal dari Bandung.
Saat itu tahun 1958. Sugra dan teman-temannya
diundang Babah Pranti ke rumah untuk diperkenalkan dengan Pak Gunawan.
Dikatakannya, di Jakarta dan daerah lainnya banyak lagu-lagu dan aneka
kesenian, tetapi yang namanya tarling belum didengarnya. Saat itu Gunawan
membawa suatu benda seperti kotak, yang kemudian diletakkan di atas meja.
Sugra dan teman-temannya mulai memainkan
tarling, tanpa tahu mereka sedang direkam oleh benda yang seperti kotak. Ketika
hasil rekaman itu diputar, Sugra tersentak kaget, karena tak percaya suaranya
bisa "nempel" di benda tersebut, yang ternyata sebuah piringan hitam.
Hingga pulang, Sugra tak habis pikir. Bahkan
menjadi beban pikiran, jangan-jangan kalau suaranya "nempel" di kotak
itu mungkin ia akan cepat mati. Bahkan jika diundang kembali Babah Pranti, ia
merasa bingung. Peristiwa yang mengagetkan sekaligus menggelikan itu mungkin
sebuah intermezo lakon kehidupannya. Suara Sugra kemudian benar-benar bisa
didengar dari hasil rekaman ketika Babah Pranti membeli sebuah membran
(loudspeaker model dulu).
Suara Sugra yang diiringi musik tarling pun
diputar keras-keras melalui membran tersebut menghadap ke jalan raya. Lakonnya
Saida-Saeni. Suara membran yang dianggap "aneh" itu tentu saja
menarik perhatian orang yang lalu-lalang hendak ke Pasar Indramayu. Tak sedikit
di antaranya yang berhenti sebentar mendengarkan lakon tersebut. Bahkan mereka
menitikkan airmata meresapi lakon tragis itu.
Sugra justru merasa malu jika hendak menuju
pasar melewati Toko Pranti (sekarang Jl. Ahmad Yani, Indramayu), yang memutar
piringan hitam berisi suara tarlingnya. Seringkali ia putar haluan melalui
daerah Sekober. Ia merasa malu, karena orang-orang menunjuk-nunjuk dirinya yang
menembangkan kesedihan tersebut.
Perkembangan kesenian tarling kemudian cukup
pesat. Grup-grup baru makin bermunculan di beberapa tempat, termasuk di
Kabupaten Cirebon. Namun alat pengeras suara belum digunakan. Jika manggung,
seringkali dibarengkan dengan pertunjukan kesenian lain yang lebih
hingar-bingar semacam seni Genjring atau Jidur (Tanjidor). Pada saat seperti
itu biasanya terpaksa tarling harus menjauh.
Ketika main di Desa Tugu, Kecamatan Sliyeg,
Kabupaten Indramayu, ternyata penonton yang gemar tarling memahami hal itu.
Mereka mengatur tempat untuk tarling yang tidak berdekatan dengan kesenian
lainnya. Tarling pun bisa dinikmati.
Suatu hari di sekitar tahun tersebut Sugra
didatangi Jayana dan Raden Sulam, yang kelak menjadi seniman tarling terkenal.
Mereka ingin bergabung. Namun saat dites, suara mereka dianggap masih labil.
Sugra pun membimbing mereka. Jayana, yang berasal dari Karangampel Kab.
Indramayu inilah yang pada masa selanjutnya malang-melintang sebagai wirasuara
tarling klasik yang populer. Bahkan seniman tarling Abdul Adjib pun menyebutnya
sebagai “the first” (nomor satu).
“Saya juga
pernah mendapatkan tawaran membuat lagu yang berisikan iklan promosi rokok.
Perusahaan rokok itu antara lain cap "Mogo", cap "1771",
dan rokok produksi Losari Cirebon,” ungkap Sugra yang pada tahun 1990-an itu
diwawancarai dan direkam kru Radio Cindelaras Indramayu (Cinde FM, kini).
Seniman tarling Sunarto Marta Atmaja pada
tahun 1960-an pernah mengunjungi Sugra di rumahnya. “Saat itu saya sedang main
di Desa Sukaurip (sekarang Kec. Balongan). Saya kemudian naik becak ke rumah
Mang Sugra. Saya banyak ngobrol tentang asal-usul tarling, dan menyerap ilmu
seninya,” ungkap Kang Ato.
**
Perkembangan kesenian tarling memang pesat.
Boleh dikatakan terjadi metamorfosis dalam perjalanannya. Tarling klasik, yang
membawakan lagu-lagu klasik daerah amat populer hingga era hingga 1970-an. Era
berikutnya hingga tahun menjelang 1980-an mulai berkembang lagu-lau tarling
dengan irama yang naik temponya. Seniman tarling Abdul Adjib menyebutnya
sebagai “kiser gancang”. Nada dasar lagu tetap pada laras daerah, tetapi tempo
iramanya agak cepat.
Kecenderungan ini mulai berubah pula pada era
1980-an hingga 2000-an yang populer dengan tarling-dangdut. Tempo lagu lebih
cepat lagi dengan penggunaan tepakan irama gendang dangdut. Bahkan mayoritas
lagu sudah terlepas dari laras daerah. Busana yang dikenakan mereka juga sesuai
dengan pemain dangdut. Ada pula yang menyebutnya sebagai dangdut pantura.
Satu-satunya yang tersisa dari seni tarling adalah bahasa daerah Jawa dialek
Dermayu dan Cerbon yang tetap digunakan.
Ketika teknologi organ mampu meringkas
seluruh bunyi-bunyian, orang-orang menyangka seni tarling adalah organ tunggal.
Sugra mungkin tidak membayangkan akan terjadi seperti ini. Sesuatu yang jauh
dari apa yang telah dirintisnya. Mungkin pula orang-orang tidak tahu dan tidak
mau tahu, bagaimana sesungguhnya kronologis seni tarling; dan siapa pula
perintisnya.
Indramayu agaknya mulai menyadari ini.
Mungkin ini pula bentuk penghargaan dari Pemkab Indramayu yang memberi nama
gedung kesenian yang baru di Jl. Veteran sebagai “Gedung Kesenian Mama Soegra”.
Sebutan “mama”, dalam bahasa Jawa-Indramayu berati bapak, yang memiliki strata
sosial lebih tinggi.
Demikian pula monumen karya Adung Abdulgani
di daerah Kepandean tentang dua orang bermain gitar dan suling. Atau juga even
musik bernama “Soegra Music Festival” yang dirintis Ucha M. Sarna. Even yang
diadakan sejak tahun kemarin di Alun-alun Kota Indramayu itu menghadirkan
pemusik dari berbagai daerah lain di Indonesia maupun mancanegara untuk
mengeksplorasi musik tarling --rintisan Sugra itu-- yang diadakan kelompok
Soegra Inspiratif.
***
Via
biografi
Posting Komentar