biografi
Oleh : Supali Kasim
Perutnya agak buncit. Seringkali saat di panggung, kebuncitan itu diperlihatkan meningkahi peran yang urakan, pemarah, dan berangasan. Pendeknya, peran sebagai sosok yang jahat atau antagonis melekat pada dirinya.
[Bio] Salmin - Antagonis di Panggung, Protagonis di Rumah
![]() |
Salmin. Foto/Dian Record |
Perutnya agak buncit. Seringkali saat di panggung, kebuncitan itu diperlihatkan meningkahi peran yang urakan, pemarah, dan berangasan. Pendeknya, peran sebagai sosok yang jahat atau antagonis melekat pada dirinya.
Salmin, nama tokoh pemain seni sandiwara itu
ibaratnya “dibenci, sekaligus dirindukan”. Memang penonton amat membenci
karakter perannya. Gaya akting dan ucapannya amat menjengkelkan dan memuakkan.
Akan tetapi penonton juga amat merindukan kehadirannya. Jadi, Salmin harus
selalu ada dengan karakter antagonis sangat melekat pada dirinya.
Jika dihitung entah sudah beratus atau beribu
kali panggungannya dengan beberapa grup sandiwara. Paling lama ia masuk dalam
grup Sandiwara “Indra Putra”, Desa Cangkingan Kec. Kedokanbunder (dulu termasuk
Kec. Karangampel), Kab. Indramayu pimpinan D. Kardono.
Pada setiap penampilannya, Salmin memang
ekspresif. Vokalnya sangat jelas dan bergetar. Tembangnya yang -seringkali
sambil mabuk kepayang pada seorang perempuan cantik- terdengar nelangsa tapi
menyebalkan. Tari dan aktingnya benar-benar menggambarkan antagonisme seorang
tokoh.
Tanpa Salmin, pertunjukan sandiwara rakyat
seperti kehilangan bumbu cabe yang pedas. Seperti adem-ayem. Ruh pertunjukan
seperti hilang, karena sulit menemukan pengganti yang total dalam memerankan
tokoh jahat.
**
Perjalanan Salmin dalam menapakkan kaki di
panggung sandiwara dimulai dengan ikut grup “Gajah Mada” (Sukra Kabupaten
Indramayu tahun 1960-an), kemudian berlanjut memasuki beberapa grup, seperti
“Cendrawasih” (Cangkingan Indramayu), “Panglipur Manah” (Lohbener Indramayu),
“Tunggal Ika” (Tugu Sliyeg Indramayu), “Candra Kirana” (Gegesik Cirebon), “Gema
Nusantara” (Losarang Indramayu), “Indra Putra” (Cangkingan Indramayu). Terakhir
ia kembali ikut grup “Gema Nusantara”.
Meski hari tuanya dihabiskan di Desa
Cangkingan, Salmin ternyata berasal dari desa lain. Ia lahir dan besar di Desa
Sindang Kabupaten Indramayu, 12 Desember 1935. Bersama adiknya, Sewo, yang juga
pemain sandiwara dengan peran sebagai pelawak, Salmin terjun ke dunia seni.
Pada dekade 1960-an, jika order panggung tak
ada, ia bersama rombongan kerap mengadakan ‘ngamen’ keliling ke pelosok desa di
Kabupaten Indramayu dengan membuat arena panggung yang ditutup bilik bambu.
Pendapatan diperoleh dari hasil ngarcis.
Pada dekade 1970-an dan 1980-an, jika
nganggur, acapkali ia kerja serabutan. Seperti halnya menjadi tenaga kuli di
proyek Pertamina Balongan. Ketika proyek selesai, ia pernah diajak oleh
pimpinan proyek ke luar Jawa untuk mengerjakan proyek yang serupa. Agaknya, jiwa
Salmin sudah tertumpah kepada seni sandiwara. Ketika diajak mengerjakan proyek
lagi di luar Jawa, ia menolak ke luar Jawa. Ia lebih suka kembali menekuni
dunia seni. "Berat sekali meninggalkan seni sandiwara," ucapnya.
Nama Salmin malang-melintang dan menjadi
bintang panggung. Sederet pengakuan atas dedikasinya itu bisa dilihat dari
banyaknya kaset rekaman dia bersama grup sandiwara. Beberapa lakon sandiwara
yang melegenda, antara lain, karena figur antagonisnya, seperti dalam lakon
Pusaka Setan Kober, Sutajaya Mas, Jaka Seta, dsb.
Entah sudah berapa puluh atau beratus kaset
cerita sandiwara bersama grup sandiwara itu. Yang jelas, Salmin tetaplah
berperan sebagai orang jahat. Publik penggemar sandiwara mungkin masih bisa
menyimak cerita dari kaset, seperti dengan judul “Golok Setan”, “Iblis Si Gua
Batu”, “Pusaka Pekandangan”, “Pedang Sakti”, “Syeh Siti Jenar Gugur”, “Lahire
Nabi Musa”, “Tongkat Cholifah Umar Umayyah”, dll.
**
Salmin memang tokoh jahat di panggung
sandiwara. Tetapi di rumah, dalam lingkungan keluarga, figur Salmin jauh
berbeda dengan di atas panggung.
"Bapak
itu orangnya halus, tak pernah marah. Ia juga jujur. Kalau di panggung ia
memang selalu jadi penjahat. Tapi di rumah sebaliknya," kenang
Rosidin, anak Salmin.
Hal ini sangat kontras dengan figur Salmin
yang demikian melegenda dalam percaturan seni peran sandiwara rakyat. Beberapa
grup sandiwara yang kemudian namanya besar dan berkibar, antara lain karena faktor
Salmin, menurut para penonton yang demikian antusias menyaksikan
pertunjukannya. Grup "Candra Kirana" yang berkibar pada era 1970-an
akhir hingga 1980-an awal dan "Indra Putra" yang besar pada era
1980-an akhir hingga 1990- an merupakan contohnya.
Peran antagonis itulah yang menjadikannya
terkenal. Anak-anaknya pun jika diketahui sebagai anak Salmin, dengan cepat
dikenal masyarakat.
Tetapi di balik itu ternyata ada kesenduan
tersendiri. Terutama jika dikaitkan dengan hal-hal di luar panggung. Salmin seringkali
merenung, dunia seni tradisional harus dihadapi dengan jiwa dan mental yang
kuat. Harus sabar dan tekun dalam menghadapi segala problema.
Selama menjalani dunia seni, Salmin
seakan-akan merasakan kepahitan yang harus dirasakan batinnya, terutama dalam
hal kesejahteraan. Roda ekonomi keluarga seringkali tidak bisa dijamin dari
hasil bermain sandiwara. Ia pun harus mencari nafkah dari bertani atau
berdagang, yang dianggap bisa menopang nafkah keluarga.
Dapur supaya bisa tetap ‘ngebul’ dan anak-anak
bisa bersekolah. Di panggung seni tradisional, nama yang besar belum tentu
menjamin berlimpahnya kesejahteraan. Tampaknya inilah yang menjadikan
keturunannya tidak merasa dididik ke arah kesenian.
Ia yang menikah dengan Kartilem, seorang
pesinden sandiwara dari Desa Cangkingan Kec. Kedokanbunder Indramayu memperoleh
empat putra. Sebelumnya Salmin, sudah punya seorang anak, di Lohbener Kabupaten
Indramayu.
Seluruh anaknya ternyata tak ada yang
mengikuti jejak sang ayah sebagai seniman. Istrinya juga tak aktif agi sebagai
pesinden. Sejak Salmin melanglang sebagai seniman sandiwara, istrinya lebih
suka mengurusi sawah dan jualan kecil-kecilan di rumahnya.
Salmin, nama pemeran tokoh jahat itu
meninggal tahun 2001 lalu akibat penyakit lever. Dunia sandiwara rakyat di
Cirebon-Indramayu seperti kehilangan seorang pemain yang berkarakter kuat.
Hingga akhir hayatnya, Salmin tetap dikenang sebagai pemain sandiwara yang
jahat, urakan, pemarah, dan berangasan.
Ia pun tetap Salmin dengan kesahajaan dan
kesederhanaan di hadapan anak-anaknya. Sebagai figur yang menekuni seni
sandiwara, ia pun tak pernah muluk-muluk memiliki impian lebih tinggi. Ia tak
pernah berangan-angan untuk memiliki dan memimpin grup sendiri.
Kata anaknya, ayahnya itu tak memiliki tujuan
ke arah situ. Salmin lebih suka menjadi pemain. Kalau menjadi pimpinan, pasti
repot mengurusi banyak orang dengan berbagai karakter dan kebutuhannya. Sebagai
pemain antagonis, Salmin telah menunjukkan kepiawaiannya: dibenci penonton
sekaligus dirindu penampilannya.
***
Via
biografi
Posting Komentar