biografi
[Bio] Royani - Jika Kedok Berwatak Genit, Saya Ikut Genit
![]() |
Maestro Topeng, Royani. Foto/Supali Kasim |
Oleh : Supali Kasim
Suatu hari pada bulan Desember 1993, di
pekarangan rumahnya yang dipenuhi pepohonan pisang dan kelapa, Royani asyik
sendiri, tekun sendiri. Di sekelilingnya beberapa tukang dan kuli tengah sibuk
menyelesaikan renovasi rumahnya, Desa Gadingan (sekarang Desa Mekargading)
Kecamatan Sliyeg Indramayu. Dengan bertelanjang dada, dan sesekali menyedot sigaret
kretek, ia sibuk mengerjakan kedok/topeng Klana atau Rowana.
Bulan sebelumnya, keasyikan Royani dalam
ukir-mengukir, dirubung “penonton" yang antusias di Taman Ismail Marzuki
(TIM) Jakarta dalam acara Pesta Topeng Cirebon tanggal 2-7 November 1993. Acara
berlanjut dalam Indonesia Traditional Mask '93 di Tribeca Performance Arts
Center, Boorough Manhattan Community College, Manhattan, New York, AS. Kedua
acara diprakarsai Gladys Suwandi, Wanda Tumanduk dan Erwin Parengkuan yang
tergabung dalam bendera Gaung Cipta Semesta.
Berlanjut pula dalam Pekan Budaya Cirebonan
dalam rangka Festival Istiqlal II, 27 Oktober – 5 November 1995 yang
diprakarsai Bentara Budaya Jakarta dan Yayasan Budaya Sunyaragi. Royani tampil
dalam memamerkan kepiawaiannya dalam membentuk kedok-kedok.
Sayang, Royani gagal tampil dalam pameran di
Amsterdam, Belanda, tahun 1998, karena Indonesia dihantam badai krisis moneter
yang berlanjut krisis politik. Tetapi di balik itu kedok-kedok Royani makin
terkenal. Banyak pesanan yang mengalir. Bahkan beberapa kolektor dari berbagai
kota maupun luar negeri harus antre beberapa bulan, jika memesan kedok kepada
Royani.
Dirinya tak mengerti kenapa orang-orang mau
memesan kedok kepadanya. Selain harus menunggu beberapa bulan, harganya pun
mahal. Harga kedok hasil tangannya bahkan naik sekitar 15 kali lipat dari
biasanya.
Saat pameran di Amerika tahun 1993, kedoknya
laku Rp 800 ribu. "Beberapa orang menyarankan agar kedok saya jangan
dijual murah. Lalu saya hargai Rp 150 ribu untuk orang luar dan Rp 50 ribu
untuk orang sendiri. Malah kalau kedok saya dijual lagi kepada orang lain, bisa
laku tiga kali lipat," ujarnya.
Royani, yang terlahir di Desa Sudimampir
(kini Kec. Balongan Indramayu, dulu Kec. Sliyeg Indramayu), pada tahun 1934 itu
masih ingat, "Pertama kali kedok buatan saya dibayar dengan seekor bebek
oleh seorang saudagar bebek di desa saya."
**
Kesenimanan Royani bukanlah berasal dari
keturunan orangtua. Benar-benar berasal dari bakat alam. Dari kegemarannya
menonton wayang sejak kecil, ia berangan-angan bisa melukis, memainkan gamelan,
ataupun mendalang. Sambil menggembala kerbau ia melampiaskan imajinasi tersebut
terhadap benda apa saja.
Ia pun suka menerjuni kehidupan seni
tradisional, yang membuatnya memperoleh pengalaman batin luar biasa. Bahkan ia
tak malu-malu untuk menimba ilmu kepada orang lain, biar pun orang itu masih
muda. Seperti halnya kepada Rastika, pelukis kaca dari Gegesik Cirebon.
“Rastika itu
teknik melukisnya bagus. Saya pun belajar kepada dia. Saya anggap Rastika guru
saya, meskipun umurnya lebih muda," tutur Royani.
Dalam membuat kedok, semakin besar semakin
baik hasilnya. Semua bagian kedok harus dibuat hati-hati. “Jika membuat kedok
yang berwatak genit, saya ikut genit. Kalau kedok berwatak cemberut, saya ikut
cemberut. Kalau kalem, ya ikut kalem. Saya mengikuti hati saya. Bahkan saya pun
mengikuti bayangan suluk," ungkapnya.
Beberapa pisau, gergaji, golok, serta pisau
pangot yang jumlahnya sekitar 40-an, onggokan kayu jaran, cat, serta jengkok
yang diduduki maupun tempat duduk para tamunya, Royani menekuni kedok sekaligus
menafkahi keluarga.
Sesungguhnya Royani awalnya bukanlah
spesialis pengukir kedok. Ia banyak menerjuni dunia seni tradisi mengikuti hati
nuraninya. Royani ternyata berbakat luar biasa sejak kecil. Saat masih duduk di
bangku kelas dua SR ia sudah ‘pinter nggambar’. Gurunya pun kalah. Sayangnya,
ia harus ‘drop out’, karena kemiskinan dan ayahnya yang meninggal. Royani kecil
berupaya meringankan beban ibu dengan menggembala kerbau milik tetangganya.
Saat masa kanak-kanak itulah, imajinasi yang
bersumber dari jiwa dan alam seakan-akan menarik-narik kegemaran Royani untuk
membuat sesuatu, seperti kedok mainan dari tanah lempung. Ia juga gemar
menonton wayang atau sandiwara, yang membuatnya berangan-angan ingin menjadi pemain
sandiwara atau dalang wayang.
Benar saja, sekitar tahun 1960-an ia ikut
grup sandiwara "Gaya Remaja". Ternyata ia bisa melakukan peran apa
saja, seperti bodor, ponggawa, raja, bahkan sutradara. Ia juga ikut kelompok
pujanggaan atau tembang macapat sebagai pemain senggak (pemain yang menimpali
tembang macapat).
Bakat seni Royani rupanya tak berhenti sampai
di situ saja. Tahun 1970-an ia tertarik wayang golek cepak. Ia mengaku banyak
belajar pada Dalang Marta Dari Pegagan Kabupaten Cirebon.
Sampai akhirnya ia mampu mendirikan grup
wayang golek cepak, yang diberi nama "Sederhana". Royani berada di
balik grup itu menjadi dalang wayang tersebut.
"Pentas saya, mungkin ada sekitar 90-an
panggungan di berbagai tempat," ujar Royani, yang ternyata di desanya
lebih dikenal sebagai dalang wayang ketimbang pengukir kedok. Sebagai dalang,
tentu saja ia sudah menguasai sabetan wayang, cerita, suluk, dan menabuh
berbagai gamelan. Ia juga mahir memperbaiki gamelan yang larasnya tak sesuai
nada.
Ketika banyak wayang-wayang goleknya yang
rusak, Royani mencoba untuk membuatnya sendiri. Ternyata hasilnya bagus.
Kesibukannya membuat wayang golek cepak, rupanya diketahui oleh para dalang,
baik dari Indramayu maupun Cirebon. Pesanan pun berdatangan. Royani sibuk, sampai-sampai
aktivitas sebagai dalang mulai terganggu dan lama-lama ditinggalkan.
“Mungkin
sudah lima peti, wayang golek yang saya buat," ucapnya.
**
Agaknya, tak selamanya pesanan wayang golek
mengalir. Ada saatnya juga menemui masa sepi. Sepinya order tak membuat Royani
berdiam saja. Ia tetap mengukir, termasuk kegemarannya sewaktu kecil membuat
kedok, yang ternyata menurut dia lebih mudah. Mulai saat itulah ia tekun
membuat kedok.
“Membuat
kedok itu harus sabar, hati-hati, ‘kudu pas karo ati’ (harus sesuai dengan kata
hati). Tak boleh ada yang mengganggu. Malah pada waktu membuat alis, saya harus
tarik nafas. Kalau tidak, tangan akan goyang," ujarnya.
Selain teknik semacam itu, ternyata ia juga
mesti puasa. Maksudnya, jika perut kenyang, akan mempengaruhi tangan dalam
mengukir atau mengecat. Minimal seminggu sekali ia puasa. Kemampuan dalam
membuat kedok diakui di tingkat kabupaten mulai tahun 1980-an. Saat ada lomba,
ia manyabet juara pertama. Pengakuan juga merambah hingga tingkat Jabar, bahkan
Indonesia dan dunia.
Saat ada even tingkat nasional, kemampuan
Royani benar-benar dikagumi para pengamat dan seniman lainnya. Ia merasa kalah
hanya oleh seniman ukir dari Bali. "Saya
tak bisa mengukir batu, sebab belum pernah mencobanya. Kalau dari Bali, sudah
biasa. Kalau dalam mengukir kayu, kata para penonton dan pengamat, katanya
bagusan saya," ucapnya lugu.
Tangan tekunnya dan keasyikan jiwanya saat
mengukir kedok Panji, Pamindo, Tumenggung, Rumyang, dan Klana/Rowana kini
beralih pada putrinya, Sunewi, yang juga istri, Wanto, dalang wayang kulit,
pimpinan grup “Langen Cahaya”.
Biarpun perempuan, Ibu Sunewi mahir menatah
dan mengukir ‘kayu jaran’ menjadi wujud kedok yang berniali cita rasa seni.
Dunia pesinden dan penari Srimpi dalam grup seni sandiwara seperti sudah ia
tinggalkan. Kemaestroan Royani sebagai seniman pembuat kedok bagaikan menitis
dalam jiwa Sunewi, yang kini sudah berusia di atas kepala lima.
Ada sisi lain pada diri Royani, seperti
disebutkan Irwan, cucu Royani. Yang paling dia ingat tentang sosok kakek yaitu
sebagai orang yang mampu ‘nglaras gamelan’ (membetulkan kembali nada dan laras
gamelan).
Waktu dirinya seusia SD sering diajak
kakeknya ke beberapa grup kesenian yang meminta kakeknya. “Saya diboncengkan
sepeda. Sore sebelumnya kakek mengambil tanah liat di sawah yang nantinya
digunakan untuk bahan penentu suara gamelan,” ungkap Irwan, yang kini sudah
menjadi seorang panjak (nayaga) gamelan, yang juga putra ketiga Sunewi dan
Wanto.
Keasyikan dan ketekunan Royani, tentu saja
sudah berakhir setelah ia meninggal dunia pada 19 April 1999. Ia meninggalkan
kedok-kedok yang banyak digunakan para penari topeng se-antero
Indramayu-Cirebon maupun para kolektor dalam dan luar negeri, seperti Gladys
Suwandi (bintang film), Nungky Kusumastuti (penari), Ging Ginanjar (wartawan),
Endo Suanda (seniman), atau kolektor dari Bandung, Jakarta, Bali hingga luar
negeri (Thailand, Inggris, Jepang, Australia, Prancis, dan Jerman).
***
Via
biografi
Posting Komentar