![]() |
Prasmanan. Foto/Meneer Pangky, 2011. |
Salah satu
alasan mengapa bisa demikian? Mereka berpikir, sudah ngamplopin. Bawa beras,
uang, kado, atau gabah. Rugi jika tidak ambil sebanyak-banyaknya.
Padahal ya
nggak ada rugi-ruginya. Nanti juga ia kondangan lagi sewaktu kita hajatan. Ia
pun akan mengembalikan apa yang pernah dititipi itu. Sesungguhnya itu hanya
akal-akalan pikirannya. Orang Indramayu bilang, pinter kodek namanya. Nggak mau
kalah.
Watak pinter
kodek itu tidak mau pihak lain untung. Harus rugi, harus kalah. Kelebihan
makanan bagi yang sedang hajatan adalah kerugian virtual untuknya. Ini gaya
pikir kodek. Jika kamu menang, saya kalah. Maka, saya tidak akan membiarkanmu
menang.
Saya
prasmanan hanya dengan satu centong nasi, dua dendeng daging, kuah, dua pisang
muli, kerupuk udang satu, dan Aqua gelas satu. Padahal bisa
saja saya ambil sepiring nasi muncung. Tapi, cukuplah saya ambil itu. Sebab,
itu yang saya butuhkan.
Tapi, rugi
lah. Sudah buwuh sekwintal gabah. Hah, itu kan soal pilihan. Emang yang sedang
hajatan maksain harus buwuh sekwintal gabah. Nggak kan? Wong, yang buwuh amplop
kosong aja ditawarin makan. Pemangku hajat, emang sudah diniatin untuk berbagi
hidangan pada hari bahagianya tersebut.
Saat buwuh
sekarung beras, saya sudah niat. Nawaitunya bukan untuk makan gratis. Tujuannya
untuk pererat silaturahmi. Suatu saat saya juga akan memangku hajat. Maka saya
tidak punya niat untuk mendapatkan makan banyak gratis. Saya sudah mendapatkan
itu saat saya membuat keputusan.
Sekilas
mengambil banyak makanan dengan prinsip itu seperti menyenangkan. Tapi
sebenarnya mendapat kepuasan dari hal-hal yang bersifat ilusi itu melelahkan.
Orang menghabiskan energi untuk sesuatu yang tidak ada. Terlebih, ia memubadzirkan
sumber daya yang seharusnya bisa dinikmati oleh orang lain.
Lepaskan
saja. Fokus saya ada pada kebutuhan saya. Saya tidak mau memakai energi saya
untuk hal yang tidak saya butuhkan. Itu salah satu sumber kebahagiaan. Buanglah
gaya mikir kodek!
***
Posting Komentar
Posting Komentar