advertorial
Pengalaman Menjadi Anggota Koperasi
Pertama kali
mendengar “koperasi” ketika saya masih SD. Itu juga karena saya disuruh bayar
tagihan listrik bulanan oleh orangtua. Nah, bayarnya itu di KUD. KUD ini
singkatan dari koperasi unit desa. Jaman orde baru memang koperasi sangat
dimanjakan. Mirip bumdes lah kalo sekarang.
Waktu itu
saya anggap koperasi merupakan perusahaan listrik. Menginjak SMA anggapan itu
berubah, saya dan semua komponen sekolah diwajibkan menjadi anggota koperasi.
Saya lupa iurannya berapa? Hanya ingat saya punya jadwal tugas menjaga
koperasi. Saya juga diwajibkan membeli buku, LKS, dan seragam di koperasi.
Lantas, pas kelulusan saya dapat duit sebagai hasil SHU sebesar Rp. 90.000,-
setelah dikurangi bayar ini-itu.
Nilai
sebesar itu cukup buat ongkos bulak-balik Jakarta lima kali. Lumayan lah! Pada
saat itulah saya baru merasakan manfaat besar menjadi anggota koperasi. Saya
bisa belajar berbisnis, berorganisasi, dan melatih kedisiplinan dan kejujuran
untuk pengembangan diri. Saat itulah saya menjadi pemilik usaha sekaligus
konsumennya. Perbedaan antara menjadi anggota koperasi atau tidak hanya soal
laba. Anggota koperasi akan memperoleh keuntungan pada akhir tutup buku.
Nah, atas
dasar hanya secuil pengalaman tersebut tahun 2015 saya diberikan amanat untuk
membuat tim kecil oleh saudara Ifhut guna mengelola dana dari teman-teman
pekerja migran di desa. Kepesertaan pekerja migran itu dari empat negara,
Korea, Taiwan, Hongkong, dan Malaysia. Dana dari teman-teman akan diturunkan
lalu dibagikan untuk kegiatan sosial. Hari berikutnya saya menghubungi saudara
Icheng untuk berbagi tugas mencari volunteer,
saya kebagian di desa Tugu dan dia di desa Tugu Kidul.
Beberapa teman
yang diajak sudah menyatakan kesiapannya bergabung, tinggal dua orang belum
saya datangi. Malamnya bersama dengan saudara Bambang saya datangi Rhe dan
Yoyo. Setelah selesai memaparkan tentang tujuan saya ke sini, Rhe meminta satu
hal. Ia ingin punya lokomotif ekonomi, gerakan sosial yang dibangun harus punya
core business. Menurutnya, kegagalan
gerakan sosial di desa hanya berdasar rasa kepeduliaan belaka. So, sustainability-nya jangka pendek, tidak komprehensif.
Ia
menyatakan siap bergabung jika dalam organisasi ini ada kongsi bisnis. Lokomotif
ekonomi harus menjadi motor penggeraknya. Dengan lagak tangan bergerak-gerak ia
semangat menceritakan studi kasus gagalnya beberapa gerakan sosial untuk
sebagai argumen dukungan atas pernyataannya tersebut. Saya pun mengiyakan dan
berjabat tangan.
Mewujudkan
apa yang diminta saudara Rhe cukup sulit. Saat saya mendagang gagasan tersebut
kepada teman-teman di luar negeri belum diakomodir. Saya tahu penyebabnya, rasa
“trust” belum kami raih. Hal itu saya iyakan saat diskusi dengan saudara Ipan
sewaktu ia cuti pulang dari Korea. Tahun 2015 saya belum bisa mewujudkan
harapan saudara Rhe. Saya minta ia sedikit bersabar.
Dari
beberapa kegiatan yang dilaksanakan, seperti “program keduman” dan “program
soya” akhirnya lembaga kami punya kas. Tahun 2016 sudah terkumpul Rp. 700.000.
Tepatnya, tanggal 22 April 2016 kami setuju mendirikan koperasi dengan modal
awal sejumlah Rp. 1.250.000. Lalu, nilainya meningkat pada tahun 2017 sebesar
Rp. 5.000.000. Tahun 2018 sejumlah Rp. 10.000.000. Dan pada tahun 2019 ini,
naik menjadi 20.000.000.
Beberapa
jenis usaha telah dijalankan seperi, jual parcel, jual beras, dan usaha tani. Social impact-nya bagi 32 anggota memang
belum maksimal. Cerita pengalaman mengelola koperasi di atas hanya sepenggal,
tidak akan memuaskan hanya ditulis blog saja. Satu hal yang pasti, di sini-lah
kami membuat momen-momen yang kelak akan kami kenang. Sebagai sebuah cerita
seru di masa muda dengan berbagai pengalaman bahagia, sedih, pusing dan penuh kekonyolan.
Semoga masih
ada cerita-cerita lain yang bisa saya bagi pada tulisan berikutnya!
***
Via
advertorial
Posting Komentar