esai
Belajar dari Masa Lalu, Konflik di Desa [Tamat]
Konflik Blok Bojong Desa Curug Kandanghaur Indramayu. Foto/Istimewa. 2017 |
Tragedi perlawanan “telanjang”. Pernah pula sewaktu pemuda Tugu menyerang Mekar Gading mereka dihadapi oleh kaum ibu-ibu. Sekitar tiga puluh orang ibu-ibu siap menghadapi pemuda Tugu dengan menghadang di jalan pesawahan berjejer berbaris dengan hanya mengenakan kain tanpa baju.
Kemudian pada saat pemuda Desa Tugu mendatangi masuk ke wilayah Desa Mekar Gading dan berhadapan ibu-ibu, maka serta merta ibu-ibu langsung membuka kainnya, dan mereka pun para pemuda menyerang kembali, merasa dipermalukan oleh ibu-ibu. Inisiatif penghadangan oleh ibu-ibu ini juga ada motif kiat perlawanan melumpuhkan kedigjayaan (semacam kekebalan).
Penyelesaian konflik pada tahun 2000-2002, antar Desa Tugu dengan Desa tetangga lainnya sempat dilakukan dengan penegakan hukum (law enforcement), melalui satuan ‘buru sergap' atau dikenal buser. Hal tersebut terjadi karena ada kecenderungan kelompok pemuda tawuran menjadi kelompok penekan aparat desa.
Menjadikan aparat desa “terpaksa” menjadi pelindung pemuda, dilematis memang. Akan mengikuti kebijakan petugas keamanan atau tekanan pemuda. Pada akhirnya secara tidak disadari kuwu dan lurah (keamanan desa) menjadi bagian dari tawuran. Kuwu (inisial S) sempat menjadi buruan tim “buru sergap”, sampai kakinya kena tembak.
Sehubungan kasus tawuran Tugu, maka penyelesaian direspon Bupati dengan berkunjung dan berdialog dengan warga Mekar Gading dan Gadingan juga dengan tokoh masyarakat Tugu, serta memberikan santunan kepada korban yang disaksikan unsur Tripika. Komentar bupati:
“Prihatin dengan sikap emosional warganya yang hanya persoalan sepele menjadi tawuran. Lebih prihatin lagi tawuran cenderung dimanfaatkan untuk melakukan tindakan kriminal, pengrusakan, pembakaran, penjarahan serta pembunuhan. Kapan kita jadi masyarakat beradab, sulit bisa maju dan investor mana bisa masuk kalau masyarakat memiliki budaya keras. Minta bersabar dalam menghadapi persoalan.”
Sehubungan dengan kasus konflik Desa Tugu, maka penyelesaiannya juga dilakukan pemerintah setempat dengan pendekatan sosial-ekonomi, karena diduga akar masalah adalah kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitar kilang Pertamina UP VI Balongan.
Kebijakan yang diambil dengan cara mengikutsertakan sebagian warga menjadi buruh di kilang tersebut. Bahkan lurahnya (inisial G) yang dulu diduga sebagai pelindung kelompok pemuda tawuran, sekarang sudah menjadi pengusaha.
Desa Tugu yang menurut aparat dianggap paling rawan tawuran juga diupayakan dengan antisipasi berupa kegiatan olahraga, yakni turnamen sepakbola. Di desa tersebut diselenggarakan kompetisi Liga Sepakbola antar blok yang diselenggarakan oleh Pembina Desa Tugu didukung Kapolsek, berlangsung selama 35 hari. (Munandar Sulaiman. Sosiohumaniora, Vol. 12, No. 2, Juli 2010 : 175– 190)
Pertanyaan-pertanyaan siapa dalang mobilisasi massa, pelindung pemuda anarkis dan atas kepentingan apa? Porsi kritis analisis wacana model van Dijk terjawab dengan hasil penelitian M. Munandar Sulaeman, Staf Pengajar Laboratorium Sosiologi Penyuluhan Fapet, Pascasarjana FISIP Unpad. Semuanya saling terkait.
***
Via
esai
Posting Komentar