Cerpen
Namanya Devi, sudah hampir
1 tahun aku pacaran dengannya. Orangnya manja, kulit sawo matang, prigel—pesona
cantik pribumi. Asli Indramayu. Rambutnya yang coklat muda lurus panjang, warna
ekor kuda, hobinya nyulam dan jahit, bahkan impian terbesarnya adalah bisa
menjahit dan menjadi desainer.
Cerpen | Gagal Punya Anak
artefak.org |
Kepribadian Devi sangat
menarik perhatian aku. Dia berasal dari keluarga brokenhome. Meski begitu dia tidak ingin hal itu terulang kembali
padanya, cukup hal itu menimpa orangtuanya. Namun, aku tidak pernah
mempertanyakan lebih lanjut tentang topik ini kenapa orangtuanya begitu, kalau
dia mau cerita pastinya dia akan cerita sendiri.
Tapi terlepas dari semua
itu, dia orangnya baik sekali. Selama pacaran, aku jarang berantem sama dia.
Pacar-pacar aku sebelumnya gampang sekali ngambek dan perlu dibaik-baikin dulu
sampai akhirnya mereka bisa ceria lagi. Konon kebanyakan cewek memang gampang
ngambek, katanya ya? Tapi Devi? Jaranglah dia ngambek-ngambek tidak jelas,
apalagi marah.
Ya kalo ngomel memang itu
salah satu keahliannya, misalnya ketika aku telat soal makan atau terlalu fokus
sama agenda diluar rumah, dia sama sekali tidak marah. Paling cuma ngomelnya
yang tanpa henti, kaya jalur rel kereta api. Misal udah capek ceramahnya,
omongannnya mulai adem di telinga "Makan dulu sana !! sini aku temenin"
atau “Istirahat yang cukup yaaaaa!!”, ditutup dengan zoen jauh dari teleponnya.
Pacar aku ini orangnya
sangat tertutup dan manja banget. Apa yang ada di pikirannya tak pernah langsung
diomongin. Apa yang sedang dirasa di hatinya, selalu tercermin dengan jelas di
paras mukanya. Tapi, jikaika tak disentil, pasti diam membatu. Jiwa manjanya
ini mungkin lebih kepada kurang perhatian dari keluarganya yang brokenhome.
Awalnya sih sempet risih juga ya, tapi lambat laun menyenangkan, dan akhirnya
membuat aku selalu betah berlama-lama bersamanya.
Suatu hari, Devi mengajak aku
makan malam di rumahnya. Karena kesibukanku sebenarnya aku tak bisa mengiyakan
permintaanya. Melihat rajuknya dalam pesan, aku akhirnya menyerah juga, meski
hampir jam 10 malam akhirnya kudatangi juga rumahnya, meski sekedar makan
malam.
Belum sempat mengetok
pintu, tiba-tiba Devi sudah membukakan pintunya. Tanpa ba-bi-bu, dia langsung meninggalkan
kami di ruang tamu. Berhubung waktunya sudah malam, aku memang sengaja mengajak
temanku untuk menemani kunjungan ke rumah Devi. Sekembalinya, betul saja dia
membawa makanan lengkap dengan lauk-pauknya.
Walaupun sangat tidak
nyaman karena waktunya yang sudah larut, aku tidak berkata apa-apa. Dalam hati
terkesan juga dengan pelayanannya. Apalagi pas dia bawa kobokan cuci tangan
juga, hal ini bernilai istimewa tersendiri buatku. Ketika dia mempersilahkan
kami menyantap makanan, kami langsung saja, meski sedikit malu-malu. Ahhhhh
lapar juga sih.
Saat kami lahap menyantap
hidangan goreng ayam sambel lamongan. Dia meninggalkan kami. Saking lahapnya
aku memang tak terlalu memedulikan hal itu. Dia kembali dengan membawa minuman
tebruk kesukaanku. Trenyuh hati ini dibuatnya. Tak tahan rasanya ingin mencoba
minuman tebruk buatanya. Meski tak sesuai dengan harapanku, mulutku tetap
memujinya, sebagai bagian reward dari usahanya.
Temanku jadi bingung dan
salting juga akhirnya, ikut dalam perbincangan kami. Berhubung sepeda motor
yang kami bawa kehabisan bensin, temanku ini pamit keluar mau cari warung
bensin yang masih buka, atas sarannya temenku pun pergi ke warung tersebut.
Kepergianya temenku tentu saja
membuatku sedikit kebingungan. Belum jauh temenku pergi Devi sudah mendekat dan
menyandarkan kepalanya ke pundak. Aku sendiri pun bingung melihat perbuatan Devi.
Melihat reaksiku yang terheran-heran seperti itu, Devi makin tak patah arang, bergelora
semangatnya. Jangan pulang dulu ya, disini saja dulu, manjanya. Suasana makin dramatis.
Pas sampai di akhir ucapanya, memandang ke arah aku dengan sinar mata penuh
kasih sayang lalu mengapitkan tangan memelukku. Devi masih berdiri dengan gaya
freeze.
"Sudah
Devi. Temenku sudah datang?" kata aku berusaha
mencegah dia jangan sampe ketahuan.
"Okay!"
kata Devi sambil mengulurkan tangannya minta dibantu duduk di kursi. Aku
berdiri dan menyambut uluran tangannya ini. Tapi Devi rupanya belum puas dengan
sikapku. Erangnya memelas, terus bergema tanpa henti. Dan apa yang dilakukan Devi?
Bukannya duduk malahan dia menarik tangan aku ke tubuhnya. Karena ditarik
tiba-tiba, hampir aku jatuh, untunglah Devi dengan sigap menarik tubuh aku. Dan
jadilah kami seperti lemari hias yang menempel di tembok, erat berkaitan.
Dengan gerakan mendadak,
tiba-tiba Devi mencium bibir aku. Aku hampir pingsan diserang rasa malu yang
teramat sangat. Badan aku langsung lemas gemetar. Tapi Devi tidak berhenti, dia
mencium sambil memasukkan lidahnya ke dalam mulut. Tangan kanannya merangkul
pundak dan tangan kirinya nemplok dan memelukku tambah erat.
Suasana ruang tamu semakin
pecah membahana dengan keintiman kami. Aku tambah lemas, pandangan aku
berkunang-kunang, kulit aku merah seperti kepiting rebus diterjang rasa malu
dan takut terlihat temanku.
Tapi begitulah Devi. Dia
selalu ekspresif. Aku tidak bisa marah padanya. Aku tahu dia, mungkin karena
rasa rindunya yang teramat kepadaku. Semua itu dia lakukan karena karakter ekspresifnya
terpicu oleh suasana. Pemahaman itulah yang membuat aku memutuskan untuk tidak
menegur perbuatannya.
Selanjutnya kami
dipisahkan oleh kepergiannya yang harus bekerja sebagai TKW ke luar negeri,
ingin sebenarnya mencegah. Tapi, apa daya itu kan soal pilihan hidup. Tak ada
yang menjanjikan kemapanan dalam waktu singkat selain menjadi TKI bagi kami
warga desa, apalagi kesempatan kerja di daerah kami sangat jarang.
Resikonya memang besar,
tetapi prospeknya juga besar. Jejak-jejak keberhasilan tetangga dan kerabat
yang berhasil mengais nasib di negeri sebrang, itu magnet tersendiri buat si
Devi. Meski harus berpisah, kami tetap komitmen dengan hubungan yang sudah
dijalani.
Seiring berjalannya waktu,
hubungan kami terbantu dengan adanya komunikasi murah berbasis internet. Ada
sistem android, tanpa kenal waktu kami selalu saling sapa. Menanyakan kabar dan
melepas rasa rindu di dada, baik lewat video call maupun telepon.
Hati aku berbunga-bunga
setiap kali berkomunikasi dengannya, apalagi setelah mendengar pujiannya. Pada
suatu waktu di hari liburnya, kami makan bersama via skype. Setelah selesai
saling menyantap makanan, terjadi obrolan serius. Ini memang sudah kuduga.
Bagaimanapun hubungan kami yang semakin serius, harus ada kejelasan mau dibawa
kemana. Selesai makan Devi bertanya, "halalkan
aku, aa?"
"aku
akan halalkan dirimu, segera kamu pulang ke tanah air”
jawabku tanpa pikir panjang.
“datanglah
ke orangtuaku, lamar aku, aa” jawabnya cepat, seperti
menantangku.
Lama kumerenung, tak
langsung menjawab. Ada konsekuensi besar ketika aku mengiyakan atau mengulur
jawabanku. Bingung aku harus ngomong apa lagi. Di balik gaya manja dan
urakannya ternyata Devi banyak berpikir tentang kejelasan hubungannya dan
pikirannya pun complicated sekali.
Melihat mimik aku, Devi mengisi kekosongan dan berbicara.
"Berat
banget ya omongan aku?"
"Iya.
I think this conversation is too heavy for me. Sorry,"
sahut aku tersenyum.
“Nanti
ya, aku harus ngomong dulu ke orangtua, bagaimanapun ketika kita melangkah ke
jenjang pernikahan, akan tetap melibatkan dua keluarga besar kita”.
Minggu depannya Devi,
mengabari bahwa dia telah mengirim paket ke Indonesia. Ia ingin memberikan
hadiah untuk adek-adekku. Adek-adeknya aku menyambut kedatangan dari Devi
dengan antusias.
"Bagaimana
bilangnya kalo dikasih hadiah!" tanyaku pada adek.
“Terimakasih
yayu Devi”
Kenapa Adekku memanggil Devi
dengan Yayu? Akulah yang meminta dipanggil demikian. Kataku jika kami berdua ingin
menikah, akan terbiasa memanggilnya yayu, panggilan lazim di Indramayu, untuk
kakak perempuuan. Hihihi... kacau ya akal bulus aku ini?
Di situlah kelebihan Devi
yang tidak pernah aku temukan di pacar-pacar aku terdahulu. Dia tidak jarang
ngambek. Dia penyayang dan selalu mampu membuat aku nyaman disampingnya. Percaya nggak? Kalau cewek sudah berhasil
dekat dengan keluarga kekasihnya, maka cowok itu sudah 50% jatuh cinta
kepadanya.
Sementara Devi? Bukan cuma
dua faktor itu saja kelebihannya. Dia mampu meyakinkan keluargaku, bahwa dia
layak masuk menjadi anggota baru keluarga besar kami. Sebuah pencapaian yang
sama sekali tidak disangka-sangka. Devi adalah janda beranak satu, tapi cuma
dalam kurun waktu yang tak lama, keluargaku sudah diakrabinya. Saban kami
berkomunikasi Devi seringkali lebih sibuk ngobrol dengan keluargaku, entah
Bapak, Ibu, Nenek, maupun adekku.
Pada suatu kesempatan, aku
memberanikan diri untuk mengutarakan maksudku melamar si Devi kepada kedua
orangtuaku.
"Pak,
aku ingin ngobrol" Sambil berkata begitu aku duduk
bersila didepan orangtuaku yang sedang asyik menonton tv.
"Kamu
berniat menikah ya sama Devi?", orangtuaku memotong.
Aku gelagapan bukan main.
Tidak siap aku diserang dengan pertanyaan tanpa basa-basi itu. Tapi mimik wajah
dan nada suara Bapak biasa aja, seakan dia cuma sedang menanyakan pertanyaan
sepele.
Setelah menenangkan diri
sejenak, aku menjawab sekenanya, "Belum
ada omongan apa-apa sih dari Devi. Emang kenapa, pak?" Aduh, grogi ini
membuatku jadi berbohong.
"Nggak
apa-apa. Ibumu bukannya nggak setuju. Cuma ada satu hal yang cukup mengganggu
pikirannya."
"Pikiran
apa, pak?"
"Bapak
bukan orang kolot. Kamu sekolahnya tinggi, pendidikan agamamu juga lumayan,
bapak yakin kamu dewasa, dalam setiap mengambil sebuah keputusan pasti penuh
pertimbangan"
"Iya,
pak"
"Bapak
nggak masalah bahwa Devi jadi istrimu. Bapak juga nggak punya masalah bahwa dia
janda. Bapak juga nggak masalah dia sudah punya anak."
Aku terdiam dan
menebak-nebak arah pembicaraan ini.
"Tapi,
ibu punya pandangan berbeda dengan bapak. Dia sedikit keberatan dengan status
si Devi, namun belakangan ibumu semakin tergugah hatinya melihat kelembutan
hati dan keseriusan si Devi menjadikanmu suami, ibumu juga penilaiannya berubah
setelah si Devi baik-baikin ke adek-adekmu”
Ternyata perkiraan aku
benar. Pasti masalah ini akan muncul juga akhirnya.
"Kamu
bujang dan Devi janda. Kamu tahu kan dalam garis keluarga ibu dan bapakmu
keatas tidak ada leluhurmu yang menikahi janda”
"Iya
Devi udah meminta, dia ingin aku melamarnya pak, ketika rombongan keluargaku
datang, keluarganya akan menerima lamaran aku."
"Iya
Bapak sudah nangkep maksudmu."
Si Bapak tersenyum lalu
melanjutkan omongannya, "Kamu jangan
salah mengerti, Bapak tidak bisa melarang kalian jika ingin memaksa menikah
juga. Bapak cuma ingin kamu tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati Ibu
dan Bapakmu. Orangtua tidak melarangmu menikah dengannya. Tapi, kamu harus
dengerin omongan kami, kamu sampaikan ke si Devi, acara lamarannya nanti saja segera
setelah kepulangannya ke tanah air.”
"Iya,
pak."
"Soal
apakah kamu dan Devi baiknya gimana, itu terserah kalian, permintaan kami itu
saja”
"Iya,
pak."
"Pokoknya
pilihan apa pun yang akhirnya kalian pilih, Bapak tetap akan memberi restu pada
kalian berdua. Okay?"
"Terima
kasih, pak."
Setelah peristiwa itu,
hati aku pun galau bukan main. Omongan ibu dan bapak sangat manusiawi dan tidak
terbantahkan kebenarannya. Aku bingung harus memutuskan apa. Memang keluargaku
sudah menyerahkan semua keputusan kepada kami berdua, tapi justru itulah yang
membuat beban semakin berat.
Di suatu malam, aku dan
Devi terlibat obrolan yang melelahkan. Obrolan yang berbicara dari hati ke
hati. Aku belum bercerita kepada Devi soal pembicaraan aku dengan keluargaku.
"Ehem...
jadi begini, vi" aku mulai dari awal lagi.
"Iya
gimana, ae?" jawab aku terus berusaha agar suasana
tetap santai.
"Hahahaha
emangnya kamu Sartika? Nggak mau ah kamu jadi Sartika."
Devi menirukan gaya Sartika memanggil dengan sebutan khasnya kepadaku.
"Kenapa
aku nggak boleh jadi Sartika?"
"Karena
entar kamu jadi adek aku. Bukan istri aku hehehe..."
"Kamu
inget nggak aku pernah bilang tempo hari?"
"Iya
inget dong."
"Iya
bener. Nah pertanyaanmu ; kamu mau nggak menghalalkanku?"
"Iya,
gimana, aa sudah ngomong sama bapak dan ibu?"
desak Devi.
"Kamu
nanyanya kaya wartawan?" tanya aku balik.
"Emang
kalo aku wartawan jawabannya beda ya?" Wuih, pintar juga
anak ini melakukan serangan balik.
"Begini
Devi," kata aku,"Kalau kamu cuma tanya, maka jawabannya pasti mau."
"Kalau
aku ngelamar?"
"Kalau
kamu melamar, maka jawabannya tetap mau tapi aku nggak bisa."
"Heh?
Kenapa kamu nggak bisa?" Devi kebingungan.
"Kamu
nggak boleh begitu Devi. Keluargaku nggak keberatan kalo kita menikah"
"Keluargamu
merestui, meski statusku janda?"
"Kenapa
nggak merestui? Justru mereka seneng, karena aku bicara jujur, mau
menyempurnakan setengah din. Mereka cuma merasa ada ganjalan kecil. Dia
menyerahkan keputusan akhir sepenuhnya ke kita."
Devi nampak lega mendengan
omongan aku, "Okay-okay. Kalau
begitu nggak ada masalah dong. Kamu tetap bisa kan menikah dengan aku?"
"Bagaimana
dengan ganjalan di hati ibu bapak, aa?"
"Nah
itu maksud aku, video call ini sekaligus ada permintaan buat kamu sekarang. Aku
juga minta kesediaan kamu segera pulang ke tanah air. Kamu nggak keberatan
kan?"
"Aku
pulang ke Indonesia?"
"Iya
kamu sudahi saja jadi TKW."
"Memang
kamu beneran ingin segera menikah?"
"Iya
dan nggak masalah kan? Kamu sudah banyak mengenal dan mengakrabi keluargaku”
Kami terdiam lagi. Aku
sudah banyak berpikir soal ini sejak pertama mengetahui bahwa Devi akan
menambah kontrak kerjanya lagi. Tapi situasi yang terjadi sampai sekarang
ternyata tetap saja sulit untuk membuat keputusan.
"Gimana,
vi?"
"Kamu
inget nggak? pernah aku ngomong bahwa apa itu itu hakikatnya Cinta?"
"Iya
inget. Kenapa?"
"Aku
sudah sering shalat tiap malam dan memohon izin pada Sang Khalik untuk menyatukan
cinta kita dalam tali sakral-Nya. Dan rasanya aku sanggup untuk menjadi imammu."
"Alhamdulillah!"
teriak Devi kegirangan.
"Tapi
ada satu masalah, vi."
"Masalah
apa?"
"Aku
kalau menikah, aku tak akan mengizinkanmu menjadi tkw lagi. Terimalah hasil
keringatku, besar kecilnya, kita mulai keluarga kecil kita dengan kebersamaan,
tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggal. Ridhalah pemberian nafkahku, agar
hal itu menjadi berkah dalam keluarga baru kita”
"Ah
kalau itu mah nggak ada masalah sama sekali,"
kata Devi sembari mengubah posisi tubuh seolah-olah seperti memelukku.
Aku melepaskan pelukannya
dengan halus, seolah-olah menirukan mengikuti gayanya, lalu menatap Devi dengan
tajam. Seperti orang gila pikirku. Tapi itulah kehebatan ikatan batin diantara
kami.
"Masalahnya
bukan cuma itu Devi."
"Waduh,
masalahnya apa lagi, a?"
"Begini.
Buat aku, menikahimu adalah sebuah keputusan besar."
"Iya
aku ngerti kok."
"Kalau
aku menikahimu, aku nggak akan mau kamu menjadi muslimah yang
tanggung-tanggung. Kita jemput sakienah, mawaddah, warahmah-Nya."
"Dari
sekarang, gaya pacaran kita yang lama kita tanggalkan, dan diganti dengan gaya
santri, tak usah ikut-ikutan kemesraan dan mengumbarnya menjadi konsumsi publik"
"Waduh!
Jangan begitu dong, a?"
"Kok
jangan begitu? Emangnya permintaan aku terlalu berat?".
Seiring berjalannya waktu,
tanpa putusnya komunikasi. Niat kami menikah selalu ditunda-tunda. Terhalang
jarak, ruang, dan waktu. Kami berdua terlena oleh madu asmara. Konflik
kecil-kecil datang silih berganti. Kehangatan yang pada awalnya dinikmati, kini
justru menyala bak bara api. Api dalam sekam harus segera dipadamkan. Jangan
sampe percikannya menjadi kobaran yang menyala, dan kami pun terbakar oleh api
pertengkaran.
Aku sebagai pasangannya
mulai berada pada titik jenuh menunggu kepulangannya. Ketika jawabannya sudah
mulai menggugurkan keyakinanku. Keraguan dan kebimbangan bertahta dalam otak
dan pikiran. Saat permintaanku, memintanya untuk segera pulang ke tanah air,
tak juga ditanggapi serius. Meski dalam batin dan logikaku bisa menerima segala
penjelasannya, tapi secara emosional ada titik dimana sebenarnya aku
membutuhkan bukti dari setiap ucapannya kepadaku.
Akhirnya aku ingin
mengujinya. Dari hasil pengamatanku, si Devi mulai terlihat antusiasmenya
mempelajari ilmu agama. Pengujianku itu seperti boomerang bagi hubungan kami,
satu sisi bisa menyegerakan kami menjadi keluarga kecil baru. Tapi disatu sisi
lainnya, hal ini tentu bisa bubar jalan.
"Ya
aku bersedia! Aku kan udah bilang kalau aku bersedia!"
Nada suara Devi mulai meninggi.
"Ya
terserah kamu kalau tidak mau ya berarti kamu tak bisa memahami bagaimana
perasaanku sekarang."
"Aa,
please! Kamu tuh penting, segalanya buatku!" Devi
mulai meninggikan intonasinya.
"Penting!" Aku
balas membentak, "Mana mungkin aku penting,
kamu aja lupa sama janjimu. Emang bisa menikah dengan istri yang tidak perasa
pada soal-soal janji. Seperti mengganggap sepele apa yang dijanjikannya."
"Sabaaaaaaar,
jangan sewot sih”
"Baik,
aku juga harus bisa menghargai hatiku, menghargai diri sendiri. Ada beberapa
sikap yang memang kadang tak bisa kutolerir”
Devi berusaha menenangkan
dirinya. Napasnya tersengal. Aku juga coba menenangkan diri sambil menghela
napas panjang. Aku merasa bersalah atas rengekanku dan ujianku yang salah
tempat dan cara. Bayanganku memudar, ditarik setahun yang lalu. Sejak itu
hubungan kami jadi dingin.
"Kamu
punya dua pilihan. Pertama kita menikah dan aku akan berangkat kembali kesini"
"Kamu
tahu itu nggak mungkin? Lebih baik jangan sampai terjadi pernikahan ini, sebab
sama halnya merencanakan perceraian. Bagiku jika kamu berangkat lagi, kita
harus cerai, melangkah keluar dari pintu rumah, talaq aku jatuhkan. Suami,
kewajibannya adalah menafkahi”
"Pilihan
kedua ya tunggu sampai kepulanganku, sanggup kan?”
"Pilihan
berat, tapi kamu harus bisa mengerti aku, keadaanku disini, jika sedang rindu
berat padamu! Mengkhayalkan keluarga kecil kita"
lirihku.
"Aku
nggak memojokkan kamu. Aku memberi kamu dua pilihan. Dan sampai sekarang, aku
nggak pernah mengerti kenapa buat kamu pilihan kedua itu begitu sulit, padahal akulah
yang harus pulang ke tanah air, dan mengubur mimpi-mimpiku.”
Pertengkaran pada video
call kali itu adalah pertengkaran terhebat kami. Tapi aku rasa itu juga
pertengkaran terakhir, karena tiba-tiba aku ingin menghilang. Aku sudah malas
berkomunikasi lagi dengannya. Kami juga mengurangi frekuensi komunikasi. Aku
sudah mengambil keputusan setelah mencoba meminta fatwa kepada hati kecilku.
Ternyata, jawabannya adalah aku lelah mengikuti perjalanannya yang berliku. Aku
tak lagi bersemangat melanjutkan perjalanan itu, perjalanan panjang dan
melelahkan. Untuk apa aku ngotot dan membuatnya mengerti mengapa aku bersikap
seperti itu.
Toh, jika sebenarnya dia benar-benar mengetahui dan memahami, bagaimana isi hatiku. Dia pasti tahu bagaimana yang harus dilakukan, antara sikap dan tindakannya. Aku terus belajar mengulik diri, mencoba mencari titik salah dalam diri. Introspeksi adalah jalan terbaik. Begitupun demikian dengan hal ini, mengajarkan banyak hal. Suatu waktu aku pernah hidup bersama orang yang kucintai dengan sangat. Esoknya, mungkin saja tidak lagi.
Toh, jika sebenarnya dia benar-benar mengetahui dan memahami, bagaimana isi hatiku. Dia pasti tahu bagaimana yang harus dilakukan, antara sikap dan tindakannya. Aku terus belajar mengulik diri, mencoba mencari titik salah dalam diri. Introspeksi adalah jalan terbaik. Begitupun demikian dengan hal ini, mengajarkan banyak hal. Suatu waktu aku pernah hidup bersama orang yang kucintai dengan sangat. Esoknya, mungkin saja tidak lagi.
So, apakah aku akan
hilang oleh sebab ia tidak lagi bersamaku? Faktanya, aku baik-baik saja, tak
ada cacat bekas luka. Aku punya kegiatan baru yang jauh lebih indah. Aku
bahagia melanjutkan kehidupan ditambah kelimpahan cinta dari berbagai sumber. Aku
pun kembali ke dunia yang dulu sempat vakum tak kugeluti dengan serius beberapa
waktu. Aku jadi teringat ibuku.
***
Via
Cerpen
Posting Komentar