Opini
Krisis Identitas dan Budaya Rumbah
Keragaman
budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di Indonesia.
Selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
berbagai kebudayaan daerah yang bersifat kewilayahan, dimana hal tersebut merupakan
pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang yang ada.
Hal
ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan
masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan
luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia
sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia.
Kemudian,
juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung
perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama
tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan
tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak
saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya
dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Demikian
juga yang terjadi di Indramayu, misalnya. Daerah ini merupakan persilangan dua
kebudayaan besar yang ada di Pulau Jawa, sunda dan jawa. Dalam perkembangannya
kemudian tercipta sesuatu yang unik dan khas. Kreasi ini telah menjadikan orang
Indramayu mengalami krisis identitas.
“Wah
... daerah lu mah, kayaknya sunda murtad jawa kafir”. Begitu
kira-kira tahun 2008 kawan di Jakarta pernah berkomentar. Aku ngakak nggak
ketulungan mendengar kesimpulannya setelah kupaparkan keadaan sosio kultural di
daerahku.
Dialektika
ini semakin tajam belakangan ini, setelah aku pulang dan menetap di kampung. Banyak
fenomena sosial kultural yang patut menjadi perhatian bersama. Misalnya soal nama
lokal. Di Indramayu sekarang, udah jarang menemukan nama Risem, Tarsem, Tarkem, Layem,
Rastem, atau Katem untuk nama anak gadis. Kalo ada juga udah ema-ema.
Marga
atau apa ya sebutannya, aku sendiri masih bingung. Pokoknya akhiran nama “em” sangat
massif digunakan oleh orang-orang Indramayu dahulu. Nama ini identik dengan nama
perempuan. Namun sekarang nama-nama perempuan yang berakhiran “em” sudah langka. Usut punya
usut, memang fenomena ini terkait berkurangnya rasa bangga terhadap daerah.
Semacem
ada pergeseran nilai, bahwa nama lokal tadi tidak keren, ketinggalan jaman,
kampungan dan lain-lain. Padahal filosofi nama berakhiran "em" terinspirasi
dari kata “mingkem” yang berarti diam, mulut tertutup. Tentu, harapannya
cuma satu. Agar kelak perempuan Indramayu mulutnya dijaga. Tidak doyan jajan
belanja dan menjaga omongannya.
Ternyata
berkurangnya pemberian nama akhiran “em”, sebanding dengan munculnya fenomena
perempuan-perempuan Indramayu yang hobi shopping dan doyan tukar padu.
Gejala konsumerisme begitu menggurita di masyarakat. Angka kredit lebih tinggi
daripada debit. Bahkan angka kredit macet di Indramayu tertinggi se-wilayah III
Cirebon. Begitupun dengan angka perceraian di Indramayu tahun 2015 menempati
posisi puncak dengan perceraian hampir 10.000 kasus.
Sedih
ya! Maka, bersyukurlah kalian yang namanya berakhiran "em" pasti
orangnya hemat dan tak doyan tukar padu.
*
Sekarang
soal makanan. Misalnya, kalo makan makanan lokal Indramayu, kita suka diejek
sama temen-temen. Makan geblog, blengep, getuk, krawu, dan lainnya, sering
dikomentari, “Wah, kaya panganan mboktua!”. Entah kenapa orang Indramayu
lebih bangga makan fried chicken daripada ayam goreng. Lebih suka spaghetty
daripada mie goreng. Orang merasa lebih gaya pergi ke CFC dariapada makan di
warung lengkoh.
Gambar 1. Blengep. Sumber : @kulinerIMY |
Gambar 2. Geblog. Sumber : @kulinerIMY |
Gambar 3. Bonol, Jalabiya, atau Gelangan. Sumber : @kulinerIMY |
Tak
hanya soal nama dan makanan, hal ini menjangkiti persoalan berbahasa juga.
Misalnya orang Indramayu lebih bangga berbicara Inggris, Arab atau Indonesia.
Bagus sih sebenarnya asal jangan melupakan bahasa lokal.
Ada
loh sebagian keluarga di Indramayu yang mengunakan bahasa Indonesia, Arab atau
Inggris sebagai bahasa pengantar keluarga. Kalo tinggal di kota sih nggak
apa-apa, ini mah yang tinggal di desa-desa. Geli mendengar obrolan mereka.
Padahal kan orang Indramayu asli dan tinggalnya juga di bumi Wiralodra.
Indramayu kan punya bahasa lokal, kenapa nggak digunakan?
Konon,
temen pernah komentar begini, “Aku paling nggak suka panggilan ‘Mama-Mimi,
Sema-Bapa’, neer. Rasanya nggak ada emosinya. Kurang terasa ikatan batin antara
bapak dan anak. Juga, ketinggalan jaman”
“Emang,
anakmu manggilnya apa?” tanya aku penasaran.
“Daddy” sahut
temenku tanpa rasa bersalah. Daddy? Ampuuuuuuun tobaaat!
Lain
dia, lain lagi panggilannya. Temenku ada juga yang dipanggil Abi sama anaknya.
Kan lucu jadinya.
"Bi
... bi ambilin pulpen dong di bawah meja". Aku kira anak temanku lagi
ngomong sama bibinya. Hahhaha.
Itu
belum seberapa, suatu hari pernah aku tertawa sampe kepingkel-pingkel. Waktu
itu lagi main ke rumah temen. Sedang asik ngobrol ngalor ngidul. Ada anak kecil
lewat, temenku nanya.
"Bapanira
ana ning umah bli?
"Langka
mang, ayahe lagi derep ning sawah".
Aku
tak bisa meredam tawaku. Ayah oh ayaaaaaaaah, kerjanya jadi pen-derep.
Panggilan ayah kan lebih tepat untuk mereka yang kerja di kantoran, betul kan? Aneh
memang, soal bahasa. Kayaknya kita udah nggak bangga lagi dengan bahasa lokal.
Semua orang ngomong bahasa Inggris, Arab, ataupun bahasa Indonesia.
Bahkan
yang nggak terbiasa ngomong bahasa Indonesia pun ikut latah ngomong dengan
bahasa rumbah alias ngomong bahasa Indonesia dicampur-campur dengan bahasa
lokal. Persis
kejadian temanku, makan di rumah makan padang sepulang jemput saudaranya dari
luar negeri. Setelah 3 tahun habis kontrak menjadi TKI.
"Pak
pesen apa?"
Tanya si pelayan.
Bergeming
sesaat, bingung liatin mukanya. Nggak terbiasa sih pake bahasa Indonesia. Pake
bahasa Jawa Dermayu malu, soalnya ini rumah makan di Jakarta. Nanti keliatan
kampungannya. Diapun dengan gagap jawab.
"Eeeeeeeeeendog gajah, Mas".
Pelayan bingung, soalnya nggak ada menu Endogajah sih. Wwkwkkwkw.
***
Via
Opini
Kegugu yakin....😀
BalasHapusMatur kesuwun, bang.
Hapus