Opini
Fenomena
penggandaan uang yang dilakukan Dimas Kanjeng menunjukkan bahwa masyarakat kita
cenderung bersifat materialistik. mendewakan harta.
Tuhan Baru, Tuhan Wang
Uang
menjadi standar kesuksesan seseorang. Maskawin seringkali dinilai dari uang
mahar. Masyarakat juga mengenal idiom UUD, ujung-ujung duit.
Uang
juga seakan menjadi jawaban berbagai persoalan di negeri ini. Persoalan
Pendidikan diselesaikan dengan tunjangan sertifikasi guru.
Profesionalitas
PNS diselesaikan dengan remunerasi gaji. Keamanan negeri ini ditentukan dengan
uang lauk-pauk.
Uang
telah menggadaikan hak politik. Baik melalui mahar politik yang diberikan
kepada partai politik, maupun money
politic yang diterima pemilik suara.
Aku
jadi teringat diskusi tahun kemaren dengan Dartin Yudha. Pernah kutanya,
mengapa melukis diatas uang kertas? Beliau menjawab : "uang sudah menjadi berhala pada saat ini".
Jika
punya uang kita menguasai dunia. Segala sesuatu dianggap selesai dengan uang.
Maka, nggak heran saat ini banyak orang berlomba untuk menumpuk harta. Dengan
harta, apapun bisa dikendalikan.
Meski
uang nggak bisa membeli kesehatan. Ke rumah sakit, dokter, nebus obat. Semua
dibayar dengan uang.
Meski
uang nggak bisa membeli jabatan. Timses, iklan, baligho, banner, dan lainnya. Semua dibayar pake duit.
Meski
uang nggak bisa membeli kecerdasan. Spp, semester, buku, dan lainnya. Semua
dibayar pake duit.
Meski
uang nggak bisa membeli kebahagian. Jalan-jalan pake duit, beli oleh-oleh pake
duit, bangun rumah pake duit, beli mobil pake duit. Serba duit.
Wajar,
jika akhirnya manusia menuhankan uang sebagai anutan, junjungan, dan
sesembahannya. Uang adalah tempat mengadu dan menyelesaikan segalanya.
Ada
yang mendapatkannya lewat pesugihan, ada jalan tikus di kantor lewat korupsi,
ada yang melacurkan diri, bahkan ada yang puasa. Dari yang nyenen sampe yang ngemis.
Hanya satu, demi mendekatkan diri kepada tuhannya. Tuhan Wang.
***
Foto/beritasatu.com
Via
Opini
Posting Komentar