esai
Sanghyang Munged Turun Ampah
Berdasarkan lakon
“Munged Turun Ampah”, selain Sanghyang Punggung, Sanghyang Munged dan Sanghyang
Manikmaya. Sanghyang Tunggal juga memiliki putra lainnya, yakni Sanghyang
Rancasan. Sanghyang Rancasan selalu terlibat percekcokan dengan Adi Guru,
dikarenakan Sanghyang Tunggal lebih menyayangi dan memanjakan putra
bungsunya--Sanghyang Manikmaya.
Hampir
seluruh kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya dikuasainya. Lama-kelamaan
perasaan iri yang tersimpan dalam hatinya semakin membesar dan menyelimuti akal
sehatnya. Sebagai anak tertua sudah sewajarnya jika Sanghyang Rancasan memendam
hasrat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya di Kahyangan.
Hanya saja
melihat sikap adik bungsunya yang terlihat ingin menjadi raja di Kahyangan dan
curahan kasih sayang yang dirasakan olehnya kurang adil. Maka rasa resah dan
gundah selalu saja menyelimuti hatinya. Dengan kesaktiannya maka Sanghyang
Rancasan menciptakan sebuah tempat sebagai tandingan Kahyangan tempat
tinggalnya.
Bahkan bisa
dikatakan lebih indah dari Kahyangan yang menjadi tempat lahirnya. Keberadaan
kahyangan tandingan tersebut membuat gembar di Kahyangan tempat para dewa
bersemayam. Sanghyang Manikmaya mempertanyakan perihal pembuatan tempat
tersebut, Sanghyang Rancasan dengan tegas mengatakan bahwa Sanghyang Manikmaya
jangan mengganggunya karena itu adalah tempatnya, yang akan dijadikan kerajaan
di luar Kahyangan.
Sanghyang
Manikmaya disuruh pulang ke Kahyangan dan jangan menghiraukannya lagi. Merasa
tidak akan menang jika harus perang tanding dengan sang kakak, maka Sanghyang
Manikmaya minta ijin pulang ke Kahyangan. Sanghyang Punggung dan Sanghyang Munged
diberi mandat oleh Sanghyang Guru supaya mengambil Pusaka Jamus Layang
Kalimusada dari Sanghyang Rancasan.
Selanjutnya
Sanghyang Punggung dan Sanghyang Munged merebut Pusaka Jamus dari Sanghyang
Rancasan sehingga Sanghyang Rancasan moksa, dibetot oleh keduanya. Selepas
moksanya Sanghyang Rancasan, ada suara tanpa rupa mengutuk ke Sanghyang
Punggung dan Sanghyang Munged :
"Hai... Punggung dan Munged! Walaupun
kalian gagah perkasa, tapi hidup kalian akan sengsara sebab kalian sungguh
sangat tercela, berani-beraninya ke saudara tua...!"
Mendengar
kutukan tersebut, Sanghyang Punggung dan Sanghyang Munged sangat terkejut,
kemudian keduanya turun ke Marcapada bukannya pulang ke Swargamanikloka untuk
meyerahkan Pusaka Jamus ke Sanghyang Jagat Nata (Batara Guru).
Setibanya di
Marcapada, keduanya berunding agar tidak ketahuan oleh para Dewa, terus merapal
mantra kepada Jimat meminta salin rupa. Sekonyong-konyong berubahlah wujud
keduanya, Sanghyang Punggung menjadi Togog dan Sanghyang Munged menjadi Semar.
Semar
berkata, "Silahkan, siapa yang mau
membawa Jimat, asal kuat menahan lapar dan sengsara."
Togog tidak
menyanggupi bila harus menahan lapar dan sengsara, biar tidak punya Jimat asal
perut kenyang makan, mau mencari majikan orang kaya saja, cuma minta ada yang
menemani .Jleg, muncul makhluk yang rupanya sangat mirip dengan Togog, diberi
nama Sarahita (Tembilung). Lalu keduanya pergi.
Semar
berjalan sendirian sambil membawa Jimat, di perjalanan kemudian turun hujan
yang sangat deras dan Semar pun berteduh di sebuah gubug. Setelah hujan reda,
dalam benaknya Semar terpikir untuk memiliki kawan seiring.
Selanjutnya
gubug itu dimantrai menggunakan Jimat sehingga menjelma seseorang yang sangat
serupa dengan Semar cuma lebih kurus dan dinamai Bagong.
Bagong tidak
henti-hentinya menggerutu kepada Semar : "Sedang enak-enaknya menjadi
gubug, tidak ada kesusahan dan tidak memikirkan apa-apa, eeeeh....dijadikan
manusia, tentu jadi banyak masalah dan menyusahkan....".
***
Bersambung!
Via
esai
Posting Komentar