Pribadi
Aku Jatuh Cinta Lagi
Sematan status facebook di bawah, kutulis khusus untuk menyambut kedatangan putra kami ke dunia ini. Namanya Prahasta Pembarep Suidno. Ia sebenarnya anak ketiga kami.
Sayang, kakak-kakaknya harus abortus. Tiga mingu yang lalu ia baru saja puputan. Tali pusarnya putus.
Emak-nya sewaktu hamil beratnya nambah 15 kg tapi Prahas terlahir dengan berat cuma 2,1 kg. Kagak nyampe seperdelapan kenaikan berat emaknya. Ajaib?
Berat bayi rendah lahir atau BBLR menurut bidan disebabkan tersumbatnya suplai makanan di ketuban. Dijelasin babibu sama bidan yang menanganinya. Aku mah angguk-angguk aja. Asli dah ngerti juga kagak.
Awalnya kukira disebabkan jatah makannya diambil oleh dua sedulur-nya yang belum sempat lahir itu. Saban malam sewaktu jadi suami siaga, emaknya sering halusinasi. Ada kuntilanak lah, ada setan lah.
Kelahiran putra kami, alhamdulillah normal. Seminggu sebelum kelahiran, emaknya cek kandungan di rumah sakit. Hasil diagnosisnya bisa normal. Nggak usah induksi atau cesar. Disuruh pulang, nunggu sampe mules.
Aku, ayahnya mengharapkan persalinan normal. Persis orangtua-orangtua jaman dulu 100% persalinan normal. Aku heran aja, sebagian besar teman-temanku, persalinannya cesar. Rumah sakit dan dokter sedang kejar setoran mungkin.
Aku nggak mau tahu dan bodo amat. Itu kan urusan mereka. Lagian juga yang mau dibahas soal Prahas lahir. Soal masalah putraku lahir.
Emaknya waktu masuk ke ruang persalinan di gedung Poned Puskesmas Sliyeg, perawat yang jaga bilang, keluarga yang ikut mengantar pulang aja. Musim covid-19, mas.
Adat dermayu emang gitu, sanak saudara suka ngumpul. Aku udah nebak, bakalan rame. Meski nggak bilang-bilang, tetep aja pada datang. Aku nggak mau ngrepotin orang lain.
Sedikit nggak enak, aku malah nyuruh balik perawatnya. Dia aja yang bilangin langsung. Setelah pulang semua, aku persis hanya ditemani Burhan, sobatku.
Selang beberapa waktu, silih berganti saudara menjenguk. Ada paman, ortu dan adek. Kantuk mulai terasa. Aku rebahin kepala di waton ranjang pasien.
"Kapan jeh jebrole?"
Aduh! Kaget! Tiba-tiba ibu datang dan duduk di sebelah. Beliau langsung pijitin istriku yang mengerang sakit. Aku pamit laper. Minta gantian nungguin. Masih lama baru pembukaan empat.
Aku dan Burhan lalu cari makan. Suasana sepi sekali jalanan. Malam Jum'at dan mencekam pandemi coronavirus.
Selesai cari makan, aku masuk ke ruang persalinan. Emaknya mulai sering menjerit keras. Kesakitan. Aku bangunin perawat yang jaga.
Setelah menangani, ia menyuruh untuk panggil bidan. Bilang aja udah kroning. Apaan tuh kroning?.
Aduh paramedis memang bikin pusing. Tulisannya nggak kebaca, istilah-istilah yang dipakai juga hanya dimonopoli mereka.
Aku mulai nggak tega, mendengar jerit sakit istri. Makin menjadi. Aku hanya bisa megangin tangannya. Memegang erat.
Setengah jam mengejan. Anakku lahir. Mata berkaca-kaca, melihat tangisnya. Aku menoleh pandang. Emaknya tersenyum sedan, bahagia.
Prahas dibersihin, disuntik, diberi antibiotik lalu di-bedong. Dengan suara lirih aku peluk. Aku dekatkan bibir ke telinganya. Kukumandangkan azan.
Aku memandang wajah tak berdosa itu lekat-lekat. Sema datang melihat.
"Mirip pisan kaya bapane" komentar Sema.
Dengan hati berbunga-bunga aku pergi ke istri sambil membawa Prahas. Istri tersenyum berkaca-kaca melihat darah daging yang baru dilahirkannya.
Pastilah ia terharu banget, namanya juga anak pertama. Predikat emak sudah boleh disandangnya sekarang. Telah dipercaya oleh Tuhan memelihara anak.
Dambaan semua perempuan normal di dunia. Lebih-lebih, kami dua kali gagal maning-gagal maning, son.
Tiba-tiba emaknya terpaku sambil melihat ke Prahas. Bayi ini begitu tampan dan mungil. Senyumnya begitu menawan. Senyum yang jauh lebih indah daripada senyum Monalisa.
Ia terlihat manis sekali. Membuat aku menyesal mengapa tidak punya anak sewaktu saya berusia 18 tahun? Biar bisa berteman.
Dalam kebahagiaan itu, dadaku sesak. Saat bidan bilang Prahas perlu perawatan ekstra. Ia terlahir BBLR. Harus minum susu formula khusus. Ia juga harus disenter lampu. Agar suhunya stabil.
Mungkin bila lahir di rumah sakit, anakku akan masuk inkubator. Singkatnya, anakku nggak baik-baik amat kondisinya. Lumayan bikin stress.
Coba googling, makin kalut. Infonya yang aku dapat. Aku takut, anakku mirip anak busung lapar di Afrika.
Umur seminggu, aku dan emaknya mulai mencurigai hal aneh. Kulitnya mlepuh. Mirip cacar.
Maklum anak semata wayang, perhatian orangtuanya pastilah berlebihan. Kita bawa Prahas ke Dokter Anak. Itulah pertama kali ia naik motor.
Gimana lagi? Sebenarnya nggak tega. Naik mobil nggak punya. Pinjam atau sewa ada ongkosnya.
Di situ aku sebagai ayahnya sedih. Punya anak itu bebannya berat. Energi terkuras. Duit juga harus ready. Apalagi anak kita perlu perlakuan khusus.
Dokter menyarankan jangan dimandiin. Ngurus anak BBLR itu kudu intens. Higienis. Yang bikin terharu pas Prahas bisa diajak kerjasama.
Ia diam nggak banyak tingkah. Sewaktu diperiksa dokter. Lain sisi, aku sedih. Sebagai ortu nggak bisa berbuat banyak untuk melindunginya.
Aku gendong. Prahas menatap dengan sayu. Teriris hatiku. Sebulan ini, aku siaga di rumah. Otomatis sumber pendapatan pun berkurang. Rutinitasku itu-itu aja.
Malam adalah shift ayahnya. Mencuci, mandi/bilas sore. Dan terakhir nyiapin air hangat untuk mandi emaknya. Its my responsibility.
Dulu, ketika hamil aku sering bilang ke emaknya. Becandain. Kalo nggak ada mirip-miripnya denganku, bukan anakku. Emaknya langsung ingut-ingutan.
Sekarang, setiap kali melihatnya semakin kuat perasaan itu. Prahas adalah fotocopy diriku. Apalagi ketika seorang temen pernah terkekeh-kekeh melihat Prahas sambil berkata.
“Huahahahaha mirip banget karo sira neer. Tinggal kasih kumis tipis pake spidol item, jadi deh mirip si kembar.”
Sementara yang lainnya ngomong, “Masya Allah, cara senyumnya sama banget sama bapaknya..!!”
Hari ganti hari. Makannya mulai lahap. Minum susunya semakin kuat. Badannya juga mulai berisi. Dan yang paling membahagiakan adalah ketika Prahas mulai merespon saat dikudang.
Banyak hal baru yang kami temukan dalam membesarkan Prahas. Aku masih menunggu dipanggil ayah, bapak, papah, atau mama oleh Prahas.
Dulu, panggilan itu biasa saja bagiku. Tapi, aku menunggu panggilan itu darinya. Bisa jadi aku akan berkaca-kaca matanya saat dipangil kata itu. Panggilan indah itu. Aku menunggu.
Hidupku makin sempurna. Segala penat, utang, masa depan yang tidak pasti terasa lebih ringan.
Aku menunggu Prahas senyum menggoda. Lalu memanggilku. "Ayaaaaaaaaah, sini ayah, kita main yuk". Ayah mana hatinya tidak bergetar dengan ajakan smesra itu.
***
Via
Pribadi
Posting Komentar